Bisnis.com, MALANG - Saat ini Indonesia berada pada urutan ke-8 dari 27 negara sebagai penyandang TB-MDR terbesar di dunia, dengan perkiraan pasien TB-MDR (Tuberculosis-Multi Drug Resistant) di mencapai 6.900 kasus.
Pulmonologist RSUD Dr. Soetomo/Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Soedarsono mengatakan program pengobatan TB-MDR sudah diterapkan menyeluruh pada rumah sakit di Indonesia sejak 2009.
“Banyak tantangan yang harus dihadapi, mulai penerapan program pengobatan TB-MDR di rumah sakit yang lamban, masalah diagnosis yang cepat, efek samping yang lebih banyak, komitmen dari berbagai pihak yang kurang memadai, membuat kasus penularan TB-MDR makin bertambah banyak,” ujarnya dalam keterangan resminya, Jumat (29/7/2016).
Karena itulah, perlu adanya intervensi dengan mencari akar permasalahan sehingga kedepan program pengobatan TB MDR lebih berhasil.
Guru Besar ilmu Mukrobiologi Klinik FK FK Unair Kuntaman menegaskan bakteri resisten yang menjadi perhatian dunia saat ini minimal ada tiga kelompok.
Pertama, MRSA (Methicillin Resistant Staphycoccus aureus) yaitu resisten terhadap semua obat golongan penisilin dan turunannya. Prevalensinya pada 2002 kurang dari 1% dan kini (2015) telah meningkat menjadi 8%.
Kelompok yang kedua adalah bakteri penghasil ESBL (Extended Spectrum Beta Lactamase) yang telah resisten terhadap antibiotika generasi baru dari penisilin dan turunannya, kecuali beberapa yang masih sensitif.
“Pada tahun 2006 baru mencapai 24%, tetapi pada 2013 sudah mencapai 38-66%. Jadi saat ini (2016) mungkin sudah makin tinggi lagi,” kata Soedarsono, yang juga Ketua Panitia “International Seminar on Global Strategy to Combat Emerging Infectious Diseases in Borderless Era” (GSEID 2016).
Kelompok ketiga adalah Carbapenem Resistance Enterobacteriaceae (CRE) yang merupakan ancaman terbaru, dimana bakteri ini telah resisten terhadap antibiotika pamungkas yang dimiliki Indonesia maupun dunia pada umumnya.
“Bahteri ini sudah dideteksi di Indonesia, khususnya di jakarta dan Surabaya. Indonesia ini sangat luas, sehingga informasi terbaru bakteri resisten mungkin tidak merata. Inilah tanggungjawab kita untuk menyebarluaskan,” ujarnya.
Padahal Indonesia sebagai salah satu negara di dunia dengan prevalensi TB tinggi. Dua puluh tahun program pengendalian TB digencarkan dan diimplementasikan, namun saat ini TB masih merupakan penyakit infeksi yang menyebabkan angka kesakitan dan kematian nomor tiga di Indonesia.
”Puluhan tahun kita memberantasnya. Banyak juga yang sembuh dan berhasil. Tetapi kemudian kasus TB ini muncul lagi dan muncul dengan beragam kasus," katanya.
Realita itulah yang mendorong Unair mengadakan seminar dan menghadirkan ahli-ahli TB dari berbagai negara pada 8-9 Agustus 2016 untuk mencari solusinya.