Bisnis.com, JAKARTA- Belakangan ini banyak pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual pada anak, yang membuat hati miris. Masyarakat tidak bisa menutup mata pada kasus-kasus itu dan mulai menggalakkan seruan untuk melindungi putra-putrinya dari aksi keji tersebut.
Bagaimanapun, ada baiknya masyarakat mengambil waktu untuk merenung. Bisa saja maraknya tindakan kekerasan seksual itu dipicu oleh pola pikir yang memandang seks sebagai hal tabu, sehingga mereka menolak memberikan pendidikan seks pada anaknya.
Banyak orang tua di Indonesia yang merasa risih ketika anaknya menanyakan hal-hal yang terkait dengan seks. Bahkan, tidak sedikit orang tua yang langsung memarahi anaknya. Akibatnya, anak tidak mendapatkan pendidikan seks yang memadai dan tepat guna.
Misalnya, anak tidak tahu mana bagian-bagian tubuhnya yang merupakan privasi, karena tidak pernah diajarkan di rumah maupun di sekolah. Akhirnya, mereka tidak melakukan perlawanan ketika ada predator atau orang asing yang ‘meraba’ bagian pribadinya.
Pendidikan seks sangat penting bagi anak dan remaja. Asalkan, pengetahuan tersebut disampaikan sesuai dengan tingkat usia dan berbasis fakta. Pendidikan seks harus diberikan oleh orang tua, pihak sekolah, pediatrik/dokter anak, maupun tenaga profes
Masalah keengganan memberikan pendidikan seks yang tepat pada anak sebenarnya tidak hanya dihadapi masyarakat Indonesia. Bahkan di negara yang lebih terbuka seperti Amerika Serikat, problema tersebut juga menjadi pekerjaan rumah pemerintahny
Di sana, satu dari tiga remaja tidak mendapatkan informasi mengenai seksualitas dari tenaga profesional seperti dokter anak. Bahkan, kalaupun terjadi obrolan seputar seks dengan para ahli, paling-paling hanya berlangsung kurang dari 40 detik.
“Itu berarti masalah pendidikan seks hampir tidak pernah didiskusikan di kalangan anak dan remaja, dan kalaupun didiskusikan, waktunya sangat singkat,” kata Ketua AAP’s Committee on Adolescence Cora Breuner, dikutip dari
Cora menegaskan jika para orang dewasa tidak memberikan edukasi seks dengan suasana tenang dan terbuka, anak dan remaja itu akan mencari tahu tentang seks di tempat lain. “Besar kemungkinan, mereka akan terjerumus pada hal-hal yang menyesatkan,” imbuhnya.
Lantas pendidikan seks macam apa yang bisa diberikan pada anak dan remaja sesuai usianya
Akademi Dokter Anak Amerika (American Academy of Pediatrics/AAP) menjabarkan pemahaman tentang seksualitas manusia; termasuk anatomi seksual, organ reproduksi, penyakit seksual menular, aktivitas seksual, orientasi seksual, identitas gender, kontrasepsi, pantangan, serta hak dan kewajiban reproduktif perlu diinformasikan pada anak dan remaja.
Pendidikan seks ditujukan untuk mencegah dan mengurangi risiko kehamilan remaja dan infeksi penyakit kelamin menular. Dalam hal ini, pihak yang paling tepat untuk menyampaikan edukasi seks pada anak dan remaja sebenarnya adalah dokter anak.
Namun, tambahan edukasi formal di sekolah bisa meningkatkan cara pandang yang sehat pada anak dan remaja. Selain itu, orang tua juga diharapkan menjadi pemberi informasi primer pada anak dan remaja
Masalahnya, selama ini banyak orang tua yang memiliki pengetahuan yang kurang mengenai seksualitas karena mereka sendiri pun dulunya tidak pernah mendapatkan pendidikan seks. Tidak hanya itu, mereka merasa rikuh saat harus membicarakan seks dengan anaknya.
PENDEKATAN SEDERHANA
Ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan orang tua dalam memberikan pendidikan seks yang tepat pada buah hatinya. Pertama, terbukalah pada anak dan biarkan mereka mengemukakan pertanyaan apapun seputar seksualitas, sesuai usia mereka.
Kedua, tetap tenang dan hargailah hak anak untuk bertanya. Namun, tetap waspada jika ternyata anak memiliki ‘agenda’ lain di balik pertanyaan mereka seputar seks. Ketiga, dengarkan anak. Biarkan mereka yang ‘mengarahkan’ pembicaraan.
Keempat, berikan informasi dan edukasi pada mereka menggunakan cara-cara yang didukung oleh penelitian ilmiah dan dorong mereka untuk mengajukan pertanyaan lebih lanjut. Dengan menjelaskan secara ilmiah, anak akan terhindar dari prespektif negatif soal seks.
Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah hindari terlalu mencekoki anak dengan propaganda ‘pantang berhubungan badan sebelum menikah heteroseksual secara resmi’ secara terus menerus.
Agenda tersebut memang sangat penting dan efektif untuk mencegah kehamilan remaja, tapi jangan sampai edukasi seks hanya bertujuan untuk ‘mencuci otak’ anak pada larangan berhubungan badan sebelum menikah (abstinence) semata.
Sebuah kajian ilmiah mengungkapkan anak dan remaja justru akan semakin terpancing melakukan hubungan seksual dan hamil sebelum menikah jika mereka terus menerus dicekoki dengan agenda abstinence.
Tidak hanya itu, anak-anak dan remaja yang hanya mendapatkan pendidikan seks untuk agenda abstinencecenderung lebih rentan terjangkit penyakit seksual menular ketimbang mereka yang mendapatkan pendidikan seks secara komprehensif.
Dari sudut pandang psikologis, Psikolog Klinik Terpadu Universitas Indonesia Depok Ratih Zulhaqqi menjelaskan anak-anak yang mulai beranjak remaja atau ABG (anak baru gede) biasanya mulai memiliki ketertarikan pada hal-hal yang berhubungan dengan seksualitas.
Untuk itu, orang tua harus mulai bersikap terbuka sekaligus melakukan ‘pembatasan’ pada lingkungan sekitar anak maupun dengan siapa mereka bergaul, baik di dunia nyata maupun dunia maya melalui komputer atau ponselnya.
Menurutnya, orang tua harus membatasi akses anaknya pada dunia maya agar tidak ‘mencari tahu’ isu seksualitas ke ruang yang salah. “Dia bisa terpapar pornografi, dan dari situlah biasanya hasrat seksualnya terdorong untuk mengenal pacaran,” jelasnya.
Namun, pada saat bersamaan, orang tua harus mulai memberikan tanggung jawab pada buah hatinya untuk menerima edukasi seks yang tepat. Jangan bersikap restriktif atau memarahi anak saat mereka bertanya tentang seks atau bercerita tentang lawan jenis.
“Biarkan mereka merasa diterima. Kalau anak mulai curhat tentang naksir lawan jenis, jangan langsung dimarahi. Pada intinya, berikan ruang pada anak dan remaja untuk merasakan dukungan dalam melalui masa remajanya, termasuk rasa ingin tahunya tentang seks.”