Bisnis.com, JAKARTA – Film Dua Garis Biru adalah sebuah citra realita minimnya pendidikan seks bagi remaja Indonesia saat ini.
Diceritakan dalam film tersebut, Bima dan Dara, dua remaja yang masih duduk di Sekolah Menegah Atas (SMA) dihadapkan pada proses penerimaan diri kalau keduanya akan menjadi orangtua di usianya yang masih terlalu dini setelah melakukan hubungan seks di luar nikah.
“Kenapa nggak pakai kondom? Makanya hape itu dipakai buat googling, jangan dipakai buat main game!" ujar Dewi, kakak Bima yang meringis saat mengetahui pernikahannya harus ditunda karena ‘kesalahan’ yang dilakukan adiknya tersebut.
Kutipan percakapan lain antara Bima dan ibunya dalam film ini juga cukup menggelitik, sekaligus ironi, memberikan gambaran pendidikan seks yang sangat jarang sekali dibicarakan dalam keluarga.
“Kok, bisa ya kamu begini, Bim? Bukannya setiap ada film yang ada adegan ciumannya, mata kamu selalu ibu tutup,” ujar ibu Bima.
“Memangnya, ayah sama ibu dulu harus liat film dulu baru bisa ciuman?” jawab Bima polos.
Pendidikan Seks Tabu
Reckitt – Benckiser (RB) Indonesia, melalui salah satu merk kondomnya Durex baru-baru ini mengadakan sebuah survei online yang melibatkan JAKPAT (Jajak Pendapat) di lima kota besar yakni Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya dan Yogyakarta dengan mengambil total 1.500 responden, mencakup berbagai macam status sosial, berjenis kelamin seimbang antara pria dan wanita.
Respondennya dibedakan menjadi tiga kategori yakni remaja hingga dewasa pada usia 16 hingga 25 tahun, orangtua pada usia 30 hingga 50 tahun dan pasangan yang baru menikah pada usia 20 hingga 30 tahun.
Dari survei ini ditemukan, 84 persen kelompok remaja mengakui mengalami masa pubertas pertama kali di usia 12 hingga 17 tahun, namun pendidikan seksual baru diperkenalkan pada usia 14 hingga 18 tahun.
Sayangnya, topik mengenai pendidikan seks dan kesehatan reproduksi ini kebanyakan tidak dibicarakan remaja bersama dengan orangtua, karena persentase terbesar menunjukkan remaja lebih senang berbicara mengenai topik tersebut dengan teman sebayanya.
Sebanyak 33 persen dari remaja ini pun mengaku mereka mendapatkan sumber yang kredibel dari praktisi kesehatan atau dokter dibandingkan dengan orangtuanya sendiri.
Sebanyak 61 persen di antaranya mengakui mereka takut dihakimi oleh orangtua jika bertanya tentang hal yang berhubungan dengan topik yang dianggap sensitif tersebut.
“Sementara anaknya tidak mau membicarakan mengenai topik seks, takut dihakimi orangtuanya, orangtua pun galau 59 persen mengatakan tabu untuk berdiskusi dengan anaknya mengenai kesehatan reproduksi, sedangkan 63 persen khawatir kalau memberitahu seolah-olah orangtuanya memperbolehkan hubungan seksual pra nikah. Inilah problem kita. Ini wajah bagaimana edukasi seksual di Indonesia,” ujar dr. Helena Rahayu Wonoadi, Direktur CSR Reckitt Benckiser Indonesia saat mengemukakan hasil survei di The Energy Building, Jakarta Selatan pada Kamis (21/11/2019).
Kesenjangan Pengetahuan
Secara umum, 76 persen orangtua setuju bahwa mereka kekurangan referensi yang baik untuk mengajarkan tentang pendidikan seks bagi anak-anak mereka, bahkan 65 persen dari orangtua mengatakan, mereka hanya menggunakan pengalaman mereka sendiri sebagai informasi dalam mendidik anak, padahal pengalamanan pribadi mungkin bersifat dinamis dan tidak relevan.
“Orangtua juga kalau misalkan membicarakan seksualitas dengan anak, tentunya harus membekali dirinya sendiri, nggak mungkin orangtua nggak tahu tapi mengajarkan anaknya.
Kedua, tidak mungkin orangtua yang memiliki jarak dengan anaknya tapi membicarakan seksualitas, kurang bisa diterima oleh anaknya.
Semua orang perlu memfamiliarisasikan dirinya juga dengan konten berbau pendidikan seksual,” ujar Inez Kristanti, psikolog klinis pada Kamis (21/11/2019).
Dikatakan, pengetahuan seksual pun sebenarnya sudah harusnya diajarkan pada anak usia dini, yakni ketika anak diajarkan mengenai organ tubuh.
Bukan saat anak masuk dalam usia remaja, karena hal ini akan sulit diterima oleh mereka nantinya.
“Pengetahuan seksual mudahnya dimulai sejak dini, bahkan dari usia 1 sampai 2 tahun, saat kita memperkenalkan mata, mulut, hidung, kita sebutkan juga organ seksual dengan cara yang benar, misalkan penis, tidak pakai kata seperti burung atau gajah,” sambung Inez.
Sepakat dengan Inez, dr. Hanny Nilasari, Ketua Umum Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual Indonesia (KSIMSI), PERDOSKI mengungkap pendidikan seksual harusnya dilakukan bertahap, tidak dimulai hanya saat anak berusia remaja semata.
“Orangtua biasanya ragu-ragu dari mana membicarakan pendidikan seksual, seks edukasi itu luas, bagaimana anak menjaga kesehatan reproduksinya supaya sehat, bertahap bisa dimulai dengan kenapa laki-laki dan perempuan itu berbeda, perbedaannya apa, kenapa harus berbeda, apa tujuannya Tuhan menciptakan kita berbeda, itu sesuatu yang harus dikomunikasikan,” ungkapnya pada Kamis (21/11/2019)
“Baru nanti saat remaja, seorang anak akan menghadapi haid atau mimpi basah, tentunya nasihatnya juga pada suatu saat alat reproduksi sudah siap. Ini sudah harus dikomunikasikan, sebelum bicara tentang penyakit seks menular,” sambungnya.
Mencegah Penyakit Seks Menular
Berdasarkan survei ini pula, 95 persen remaja mengaku pernah mendengar mengenai penyakit seks menular. Namun, pengetahuan dan pemahamannya hanya sebatas pada HIV/AIDS, sementara penyakit lainnya seperti herpes, sipilis, gonorea hingga kandidiasis, masing-masing kurang dari 57 persen dari mereka mengetahui informasi mengenai penyakit tersebut.
Tiga dari sepuluh remaja pun masih berpikir kalau aktivitas sehari-hari bersama pasien HIV/AIDS dapat menularkan penyakit menular seksual. Sementara, 55 persen remaja berpikir HIV dapat ditularkan melalui ciuman.
Siti Hadiati, Pengurus Forum LSM Peduli AIDS dan Lembaga Kesehatan Yayasan Kusuma Buana (YKS) menyebut pola komunikasi petugas kesehatan di fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas pun lambat laun mulai membaik.
Dia mengungkap fakta, saat ini puskesmas jauh lebih terbuka menerima remaja dengan keluhan indikasi penyakit seksual yang lebih kompleks.
“Sekarang ini sedang dikembangkan layanan ramah remaja dimana saat anak datang ke puskesmas dengan penyakit kelamin, diajarin di layanan, diterima saja dulu. Tidak dianjurkan mengatakan ‘kamu baru usia 15 tahun, sudah ada penyakit kelamin’. Nanti, dengan sendirinya dia akan cerita karena banyak remaja yang ternyata tidak bisa menolak kuasa pacarnya,” ujar Siti saat berbicara dengan Bisnis.com pada Kamis (21/11/2019).
Lebih lanjut, Hanny menyebut jika memiliki faktor risiko, remaja diharapkan untuk berkomunikasi kepada dokter di berbagai fasilitas kesehatan, agar bisa dideteksi untuk nantinya dilakukan tindakan kesehatan demi menurunkan angka prevalensi penyakit menular seksual di masa yang akan datang.
“HIV/AIDS tentunya kalau berisiko tentu jangan ragu datang ke dokter lalu dikomunikasikan. Mungkin pernah melakukan hubungan seksual di luar pernikahan, berhubungan dengan orang berbayar atau sesama jenis. Semua adalah faktor risiko sehingga kalau misalkan ada remaja yang merasa berisiko, datang ke dokter lalu dokter akan melakukan yang bijak untuk kesehatan reproduksinya,” tutupnya.