Bisnis.com, JAKARTA - Menguras anggaran miliaran rupiah untuk menghelat sebuah prosesi dan resepsi pernikahan yang megah sepertinya telah menjadi bagian dari kebutuhan kelas jetset. Bisa dibilang itu adalah tuntutan sosial dari kelas ekonomi mereka.
Jangankan untuk warga kelas atas, warga kelas menengah-bawah tak jarang ‘memaksakan diri’ untuk menggelar sebuah acara pernikahan meriah, dengan tamu sebanyak mungkin. Ada anggapan bahwa jika tidak mengundang banyak tamu, reputasi keluarga mereka akan rontok.
Namun, reputasi seperti apakah sebenarnya yang dipertaruhkan di dalam sebuah resepsi pernikahan yang megah dan meriah? Apa manfaatnya? Salahkah budaya ‘besar pasak daripada tiang’ dalam menggelar acara pernikahan?
Ketahuilah, resepsi besar-besaran bukan sebuah hal yang sia-sia. Sebuah penelitian yang dilakukan olehRelationship Development Studymengindikasikan pernikahan yang meriah sebenarnya memiliki dampak psikologis yang positif bagi bakal pasangan suami-istri.
Janji pernikahan dan resepsi yang disaksikan oleh ribuan orang akan memicu pasangan untuk menjaga komitmen yang mereka buat. Pasangan seolah memiliki ‘tanggung jawab moral’ kepada para tamunya untuk mewujudkan pernikahan yang harmonis dan langgeng.
“Sebanyak 89% dari 418 pasangan yang diteliti tercatat menggelar pernikahan mewah, dan setelah menikah ternyata mereka memiliki kualitas kehidupan perkawinan yang lebih terjaga dibandingkan dengan mereka yang tidak menggelar resepsi meriah,” kata profesor psikologi University of Denver Scott M. Stanley, dikutip dari Reuters.
Dia mengatakan meriah atau tidaknya sebuah resepsi pernikahan memengaruhi unsur komunitas dalam sebuah kehidupan perkawinan. Sebab, pernikahan memang seharusnya menjadi perayaan bersama bagi seluruh keluarga, kerabat, relasi, dan teman dekat mempelai.
Di sisi lain, konsultan pernikahan Indra Noveldy mengatakan bahwa menggelar resepsi besar-besaran bukan hal yang salah, selama kapasitas finansial mempelai memadai. Menurutnya, hal yang lebih esensial untuk dipersiapkan adalah masa-masa kritis pascamenikah.
“Masa setelah menikah adalah saat-saat paling kritis. Lebih baik pasangan memusatkan konsentrasinya untuk itu, dengan membahas dan menyamakan presepsi tentang kehidupan rumah tangga seperti apa yang akan mereka bina,” jelasnya.
Dia mengaku tidak jarang mendapat klien yang tidak bahagia setelah menikah, karena pasangannya tidak sesuai ekspektasi. Namun, mereka malu untuk mengakuinya karena terlanjur gembar-gembor dalam menggelar resepsi pernikahan megah.
Sementara itu, psikolog Universitas Indonesia Anna Surti Ariani berpendapat acara pernikahan yang baik adalah yang penuh persiapan dan bukan dilakukan secara impulsif. Untuk itu, proses mengenal dengan baik seperti apa calon pasangan hidup lebih penting.
“Sebelum menikah, persiapkan pengetahuan yang mumpuni tentang keluarga calon pasangan, karakternya, persiapan membesarkan anak, dan pengelolaan finansial rumah tangga yang baik. Jangan sampai setelah resepsi mewah, pasangan justru terbelit krisis keuangan.”
Nah, sekali lagi, musim pernikahan telah tiba. Sebagian dari Anda mungkin sedang atau telah mempersiapkan hari istimewa itu. Megah atau tidaknya resepsi yang akan digelar, jangan sampai takabur dan lupa akan tanggung jawab lebih besar yang menanti setelah pesta pora.
Jangan lupa, tanggung jawab besar itu nantinya akan dipikul sendiri oleh pasangan yang menikah dan bukan oleh berapa banyak tamu yang menghadiri resepsi mereka. Selamat menempuh hidup baru!