Bisnis.com, JAKARTA - Anda penggemar acara bincang-bincang televisi yang dipandu Oprah Winfrey? Jika ya, mungkin Anda mengingat salah satu episode yang menayangkan kisah tragis tentang seorang anak bernama Danielle yang diabaikan oleh ibunya sendiri.
Dia tinggal bersama ibu kandungnya di dalam sebuah rumah yang kotor dan berantakan, penuh dengan sampah, sarang laba-laba, dan kecoa. Ibunya yang terjerat kemiskinan tidak mengurusnya dengan baik, bahkan tidak mengganti popoknya untuk kurun waktu yang lama.
Danielle masih berusia sekitar 6 tahun ketika dia ditolong petugas sosial dan kisahnya menyedot perhatian publik. Saat ibunya ditanya petugas mengapa dia tegas mengabaikan anaknya, si ibu hanya menjawab, “Saya sudah berusaha sebaik mungkin.”
Dua tahun setelahnya, bocah malang tersebut diadopsi oleh keluarga baru yang melimpahinya dengan kasih sayang. Namun, trauma pengabaian yang dialaminya sewaktu kecil tidak serta merta sembuh dengan limpahan perhatian yang dicurahkan keluarga barunya.
Saat Danielle menginjak usia 15 tahun, Oprah kembali memantau kabar anak itu melalui tayangan Where Are They Now? Ketika ditemui lagi, Danielle telah tumbuh menjadi remaja putri dan mengenyam bangku pendidikan SMA seperti layaknya gadis-gadis seusianya.
Namun, satu hal yang pasti, luka akibat pengabaian yang dirasakannya sewaktu kecil mengakibatkan kelainan perilaku pada gadis yang tinggal di pinggiran Nashville itu. Dia tidak menyukai figur perempuan yang menyerupai ibu, termasuk ibu angkatnya.
Dia juga susah berkomunikasi, apalagi dengan orang asing, dan sangat agresif terhadap makanan seolah-olah ketakutan tidak akan diberi makan lagi. Bahkan keluarganya sampai harus menggembok kulkas dan lemari makanan di rumah mereka.
Danielle juga sangat sulit bersosialisasi, dan hanya dekat dengan ayah angkat, saudara angkat, serta gurunya di sekolah. Ayah angkatnya menggambarkan Danielle seperti “bocah 2 tahun di dalam tubuh seorang gadis 15 tahun.”
Kisah pilu Danielle membuktikan bahwa selama ini masih banyak orang tua dan dokter yang menganggap kekerasan emosional seperti kesalahan pola asuh atau pengabaian tidak berdampak lebih buruk ketimbang kekerasan fisik dan seksual pada anak.
Banyak orang tua yang gengsi mengakui telah melakukan kekerasan emosional, meskipun perlakuan mereka terhadap anaknya keliru. Mereka merasa tidak bersalah dan normal-normal saja selama tidak melakukan kekerasan fisik atau seksual terhadap anaknya.
Padahal, kekerasan—entah itu terkait fisik maupun psikis—memiliki dampak yang sama fatalnya bagi kesehatan jasmani dan mental anak. Tidak memenuhi kebutuhan emosional anak saja sebenarnya bisa dikategorikan kekerasan psikis.
Di dalam sebuah riset yang dibakukan di jurnal JAMA Psychiatry, terkuak fakta bahwa anak-anak yang mengalami trauma kekerasan apapun bentuknya, akan tumbuh dengan berbagai masalah perilaku; mulai kecemasan, depresi, agresi, hingga pemberontakan.
Kepala penelitian tersebut, David Vachon dari McGill University di Montreal, mengungkapkan meskipun ada berbagai tipe kekerasan terhadap anak, dampak negatif yang dirasakan anak sebenarnya sama beratnya.
“Tidak ada istilah ‘dampak kekerasan emosional lebih ringan ketimbang kekerasan fisik’. Anak korban kekerasan dalam bentuk apapun menunjukkan gejala masalah perilaku yang sama,” jelasnya, dikutip dariReuters.
Vachon melakukan studi terhadap hampir 2.300 anak yang berpartisipasi di kemping musim panas antara periode 1986—2012. Mayoritas dari mereka berasal dari keluarga berpenghasilan rendah.
Sejumlah 1.200 anak di antara obyek studi tersebut ternyata pernah mengalami kekerasan dari keluarganya, berupa kesalahan pola asuh (maltreatment). Anak-anak tersebut diamati perilakunya selama mengikuti kemping. Mereka juga diminta mengevaluasi diri sendiri.
Secara umum, Vachon menemukan anak-anak dengan pengalaman kekerasan (seperti pengabaian, seksual, emosional, dan fisik) cenderung lebih rentan depresi, putus asa, cemas, dan terserang neuroticism dibandingkan anak-anak yang tidak memiliki sejarah kekerasan.
“Ternyata, gejala yang ditimbulkan akibat kekerasan psikis sama buruknya dengan kekerasan fisik. Baik kekerasan yang dilakukan di lingkungan keluarga maupun pergaulan,” kata peneliti psikologi William Copeland dari Duke University di Durhan, North Carolina.
Menurutnya, studi tersebut membuktikan pandangan bahwa kekerasan emosional anak bukan hal yang perlu dikhawatirkan adalah sebuah kesalahan besar. Jadi, orang tua tidak bisa lagi semena-mena dalam memperlakukan buah hatinya.
“Masalah kekerasan anak, baik pencegahannya maupun skrining dan pengobatannya harus dipandang secara holistik. Tidak ada hierarki apapun dalam hal kekerasan terhadap anak. Tidak relevan jika kita menganggap pengabaian anak adalah hal yang normal,” tegasnya.