Bisnis.com, JAKARTA - Film Warkop DKI Reborn, Ada Apa dengan Cinta, dan Cek Toko Sebelah adalah sebagian film mencapai angka box office yang kembali mengundang gairah penonton Indonesia.
Keberhasilan sepuluh film pada tahun 2016 dengan penonton di atas satu juta, menjadi pertanda bangkitnya perfilman Indonesia setelah keberhasilan Laskar Pelangi pada 2008.
Komite film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Lulu Ratna mengungkapkan, jika saat ini perkembangan film Indonesia memang sangat bagus. Jika melihat ke belakang, sekitar 1970-an hingga 1980-an, perkembangan penonton film Indonesia sangat baik dengan hadirnya film Badai Pasti Berlalu dan Catatan Si Boy. Namun, sempat terjadi fluktuasi dan kehilangan momentum pada 1990-an dengan kondisi penonton yang sangat sedikit.
Penonton kembali bangkit dengan kehadiran Laskar Pelangi pada 2008 yang ditonton oleh 4,7 juta orang.
“Sekarang kita bersama insan perfilman bekerja sama mencoba mencari formula yang tepat agar tidak down lagi. Kalau bisa terus meningkat,” kata Lulu.
Salah satu cara menjaga momentum tersebut, menurut Lulu, dengan menghadirkan ruang-ruang tontonan alternatif nonkomersial. Karena kehadiran ruang sinema alternatif menjadi sangat penting sebagai penyangga ekosistem perfilman yang sehat di setiap negara.
Kehadiran ruang alternatif tak hanya memberikan ruang bagi pembuat film yang tak bisa menembus ruang komersial. Tetapi, menjadi sangat penting bagi masyarakat yang menginginkan tontonan beragam dan penting untuk kondisi saat ini.
Komunitas
Ruang sinema alternatif ini juga menjadi penting bagi komunitas film yang membuat film pendek, dokumenter maupun film panjang yang tidak dapat menembus ruang komersial. Berdasarkan pemetaan komunitas film di Indonesia yang dilakukan Cinema Poetica Research Center, terdapat 77 komunitas film yang tersebar di 28 kabupaten.
Dari data jumlah komunitas tersebut, terdapat 67 komunitas yang melakukan aktivitas pemutaran sekaligus. Dengan kehadiran ruang tontonan alternatif, karya pembuat film dari komunitas dapat disaksikan oleh penonton, tak hanya dari lokasi film itu berasal.
Ketua Harian DKJ, Irawan Karseno mengungkapkan, jika kehadiran bioskop alternatif tak lepas dari esensi untuk mencari spekulasi baru. Kehadiran ruang tonton nonkomersial bisa menjadi ruang eksprimen bagi para pembuat film, termasuk tumbuhnay berbagai macam ekspresi di daerah yang tak terduga.
“Jadi Kineforum jadi ruang lab eksprimen gitu. Tidak hanya berdasarkan parameter yang diyakini oleh rating,” katanya.
Mengingat pentingnya hal tersebut, DKJ belum lama ini melaksanakan peluncuran kembali ruang putar Kineforum yang berlokasi di Taman Ismail Marzuki. Kineforum merupakan ruang putar alternatif yang sebenarnya sudah ada sejak 2006. Kehadiran Kineforum ini atas kerja sama DKJ, Cinema 21 dan Unit Pengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki.
Perjalanan Kineforum dimulai sejak kebutuhan terhadap ruang putar film alternatif terasa mendesak di tengah perkembangan ruang kota Jakarta pada 2006. Kineforum dikembangkan sebagai tanggapan terhadap ketiadaan bioskop non komersial di Jakarta dan kebutuhan pengadaan suatu ruang untuk bertukar antar budaya melalui karya audio-visual.
Bahkan jika menurut sejarah sinema alternatif di Jakarta, Kineforum menjadi pelanjut dari Kineklub di TIM yang pernah diampu oleh Salim Said dan telah menjadi jendela publik untuk melihat sinema dunia.
Di 2017 ini, Kineforum kembali melakukan transformasi baru lewat program-program tontonan setiap bulannya. Tak sekadar ditonton, menurut Lulu, program di Kineforum merefleksikan keberhasilan perfilman Indonesia. Seperti penayangan film-film remake yang merefleksikan kesuksesan sebuah film. “Kalau film itu di remake berarti sukses dan dirindukan. Hal seperti itu yang coba kita tampilkan dengan menghadirkan sutradara ataupun pemainnya,” katanya.
Selain membuat program tontonan, Kineforum tetap konsisten pada prinsip kurasi film dengan keberpihakan yang jelas serta standar tema tertentu. Karena penonton yang diharapkan tak sekadar mendapat hiburan, tapi mendapatkan hal lebih saat menyaksikan film di Kineforum. Untuk itu, selain nonton film, program di Kineforum juga menyediakan ruang-ruang diskusi bagi para penggiat film dan penonton yang tak bisa dirasakan pada ruang-ruang bioskop komersil.
“Ada film yang kurang diminati tapi penting untuk diputar. Pencapaian artistik dan kesesuaian dengan tema menjadi poin penting dalam kurasi film, tapi kita memnag berpihak pada film-film yang termarginalkan,” kata Lulu.
Perihal mekanisme pemutaran film, Kineforum memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh penggiat film yang ingin menayangkan filmnya. Kesempatan ini diberikan secara gratis, namun film yang akan terpilih harus melalui kurasi yang sesuai dengan program yang ditentukan.
Lulu mengatakan, kedepannya Kineforum diharapkan bisa mandiri dan tidak bergantung lagi pada DKJ. Dengan begitu, Kineforum bisa menjadi percontohan di tempat-tempat lain untuk menyediakan tontonan alternatif yang memiliki standar fasilitas yang menyamai ruang komersial. Untuk itu, keberadaan Kineforum menjadi penting untuk diketahui masyarakat.
Corporate Secretary Cinema 21, Catherine Keng juga berpendapat demikian, jika ruang publik seperti Kineforum harusnya banyak dipromosikan agar penonton tahu pilihan film yang tidak ditemukan di bioskop.
Ditambah lagi penayangan film Indonesia di bioskop yang hanya sebentar. Untuk itu, Cinema 21 selain memberikan ruang tontonan, juga lewat momentum peluncuran ini, berencana mempromosikan kehadiran Kineforum ini di bioskop-bioskop. “Untuk Cinema 21 tidak mengambil keuntungan materi. Kami memberikan fasilitas dan fasilitasnya dikelola Kineforum, mereka [Kineforum] bagi hasil dengan pemilik film,” katanya.