Bisnis.com JAKARTA--Jika Anda adalah orang yang cukup aktif di media sosial (medsos), perhatikanlah tren yang sedang berkembang di dunia fesyen dan kecantikan. Anda dapat melihat semakin banyak orang yang menjadi beauty enthusiast atau menjajal peruntungan sebagai beauty guru di medsos.
Bahkan, saat ini jamak dijumpai remaja dan anak-anak yang jago mengaplikasikan mekap ala penata rias profesional, dan membuat berbagai konten tutorial kecantikan. Kegiatan tersebut tidak hanya didominasi oleh kaum hawa, tetapi juga para lelaki.
Membludaknya beauty enthusiast di dunia maya turut membuat pamor dan sorotan terhadap industri kosmetika meroket. Terbukti, setiap harinya begitu banyak merek dan produk mekap baru dengan beragam gimmick yang diluncurkan ke pasar dan diulas oleh para beauty guru.
Dalam perkembangannya, panji-panji kosmetika raksasa pun harus rela bersaing dengan kemunculan begitu banyak merek kosmetika indie yang menawarkan produk dengan harga lebih terjangkau tetapi kualitas tak kalah premium.
Label-label kosmetika indie ini kebanyakan memasarkan produk mereka melalui dunia daring, alih-alih membuka gerai atau offline store. Pada kenyataannya, strategi itu terbukti jitu. Merek-merek niche tersebut justru berhasil menggaet lebih banyak konsumen melalui transaksi daring.
Bisa jadi, Andapun termasuk salah satu konsumen yang lebih suka belanja produk mekap baru melalui toko online. Tren belanja kosmetika melalui media daring dewasa ini semakin mempengaruhi konstelasi bisnis kecantikan di berbagai belahan dunia.
Pergeseran preferensi konsumen untuk berbelanja mekap secara daring ketimbang datang dan mencoba sendiri ke toko rupanya mulai membuat perusahaan-perusahaan kosmetika gigantis ‘kelimpungan’. Pasalnya, secara tradisi mereka lebih mengandalkan penjualan lewat offline store.
Di tengah ketatnya persaingan bisnis kecantikan saat ini, para raksasa kosmetika mulai putar otak untuk mengubah strategi pemasaran mereka. Kini, mereka bersaing ketat untuk ‘membajak’ para ahli teknologi informasi di Silicon Valley guna mendorong penjualan melalui toko daring.
Salah satu perusahaan kosmetika raksasa yang mulai menyeriusi ranah perdagangan elektronik (e-commerce) adalah Shiseido Co. Perusahaan asal Jepang itu gundah dengan perubahan karakter konsumen muda yang lebih suka berbelanja mekap secara online.
Pada 2017, korporasi yang membawahi merek kosmetika premium sekelas Laura Mercier dan Dolce & Gabbana itu mencatatakan nilai transaksi produk kecantikan senilai US$9,3 miliar dari gerai-gerai offline mereka di berbagai negara.
Meksipun angka tersebut terlihat besar, CEO Shiseido Masahiko Uotani mengaku belum mampu memenangkan kompetisi penjualan di dunia daring. Dari kegundahan itulah, Shiseido memutuskan untuk mengubah strategi dengan menggandeng berbagai perusahaan rintisan (startup) di Silicon Valley.
Tidak hanya menggandeng, mereka bahkan membeli sejumlah stratup di Silicon Valley dan simpul teknologi (tech hub) lainnya hanya untuk mendapatkan para ahli di bidang kecerdasan buatan (artificial intelligent/AI), realitas tertambah (augmented reality/AR), dan lainnya.
Uotami berambisi menghadirkan pengalaman baru dalam berbelanja mekap melalui dunia daring, yaitu dengan mereplika pengalaman berbelanja dan mencoba kosmetika di toko offline ke dalam platform digital.
“Konsumen zaman sekarang, khususnya generasi muda, tidak lagi membeli mekap di toko. Cara mereka membeli produk kecantikan dan membagikan ulasan dengan rekan-rekannya berbeda sekali dengan generasi sebelumnya,” ujarnya dikutip dari Bloomberg.
Untuk menyesuaikan dengan perubahan pola belanja konsumen itu, Shiseido secara agresif akan menambah jumlah tim penelitian dan pengembangan (research & development/R&D) menjadi 1.500 staf pada 2020 dari hanya 1.000 staf pada 2014.
“Kami yakin investasi R&D ini akan membuahkan hasil positif dalam mendongkrak transaksi produk-produk kami. Sebab, [perubahan menuju transaksi digital] tidak terjadi sepuluh tahun lagi, tetapi sekarang,” tegasnya.
PERAN TEKNOLOGI
Berdasarkan data dari Euromonitor International, teknologi telah mendongkrak transaksi industri kecantikan global hingga US$440 miliar. Meskipun transaksi daring baru menguasai 6,9% penjualan mekap global pada 2016, peran perdagangan elektronik saat ini semakin krusial.
Salah satu negara dengan jumlah pembelian mekap melalui transaksi daring terbesar di dunia adalah China. Menurut proyeksi Forrester Research, Negeri Panda bakal menembus transaksi produk kecantikan secara online senilai US$1 triliun pada 2018.
Di China, perdagangan elektronik memberi kontribusi sebesar 25% dari total bisnis Shiseido. Menrut Uotani, dalam tiga tahun ke depan angka tersebut naik menjadi 40%. Dia memprediksi pada 2020, 15% penjualan Shiseido akan dilakukan secara online alias naik dari 8% pada 2016.
Pada 11 Januari, Shiseido mengakuisisi tim R&D dan aset lain dari Olivo Laboratories, startup yang berkecimpung di bidang teknologi kulit artifisial. Teknolologi tersebut memang belum dikomersialisasikan, tetapi Shiseido menangkapnya sebagai potensi gimmick pemasaran yang prospektif.
Selain itu, pada 2017 perusahaan tersebut mengakuisisi MatchCo, startup pengembang perangkat lunak yang berguna bagi konsumen untuk menentukan warna fondesyen sesuai dengan jenis dan warna kulit mereka.
“Teknologi ini ditujukan untuk mereplika warna fondesyen agar konsumen lebih nyaman memilih lewat media daring. Sebab, selama ini kendala membeli mekap secara online adalah ketidaksesuaian ekspektasi warna produk dengan barang asli,” kata GM MatchCo Dave Gross.
Untuk menjembatani kendala itu, pada November 2017 Shiseido juga membeli Giaran, startup yang mengembangkan teknologi AI untuk simulasi pengaplikasian mekap secara digital ke wajah calon konsumen, sehingga mereka bisa menentukan gaya yang sesuai sebelum membelinya.
Untuk merangkul pangsa pasar belanja kosmetika online di China dan negara-negara Asia lain, LÓreal SA pun tak mau ketinggalan mengembangkan tim TI mereka untuk memperkuat strategi pemasaran melalui dunia daring.
Pada 16 Maret, raksasa kosmetika Prancis itu membajak startup teknologi asal Kanada, ModiFace, yang memiliki sekitar 70 pegawai expertise TI. Modiface mengembangkan perangkat lunak berbasis AR yang dapat memudahkan konsumen memilih berbagai warna dan gaya pemulas pipi/mata sesuai keinginan.
CEO LÓreal Paul Agon mengatakan saat ini korporasinya sudah memiliki lebih dari 1.700 staf TI. Pada Desember 2017, Tak berhenti di situ, LÓreal juga menggandeng startup telekomunikasi asal Prancis, Xavier Niel, untuk mengakselerasi bisnis digital mereka.
Selain LÓreal, Louis Vuitton (LVMH) adalah raksasa kecantikan lain yang menggandeng Xavier Niel. Pada 10 April, LVMH meluncurkan program La Maison des Startups untuk menginkubasi bisnis rintisan berbasis teknologi di Prancis agar mau membantu penguatan perdagangan elektronik produk-produk parfun, kosmetika, anggur, dan fesyen LVMH.
Perusahaan lain yang tak kalah bertanding di dunia perdagangan elektronik adalah Estee Lauder Cos. Pada Desember tahun lalu, mereka mengumumkan kerja sama dengan Perfect Corp., startup berbasis teknologi kecantikan yang mengembangkan teknologi AR.
Melihat tren membajak startup TI yang dilakukan perusahaan-perusahaan kosmetika raksasa global itu, analis Bloomberg Intelligence Deborah Aitken yakin dalam waktu dekat akan ada lebih banyak lagi raksasa kecantikan global yang mengikuti langkah Shiseido dan kawan-kawan.
“Perusahaan-perusahaan memang harus merespons pergeseran perilaku konsumen, khususnya di Asia, yang lebih suka belanja kosmetika maupun produk kecantikan lain secara daring,” ujarnya. Mungkinkah ini indikasi bisnis kecantikan global ke depannya akan semakin seksi?