Bisnis.com, JAKARTA--Masih hangat diingatan, sejumlah atlet telah mengukir prestasi membanggakan dalam ajang olahraga bergengsi Asian Games 2018. Meskipun pertandingan telah usai, namun euforia masih membekas. Buktinya, para atlet dari berbagai cabang olahraga masih banjir sanjungan dan apresiasi dari berbagai kalangan.
Kendati begitu, banjir apresiasi dari masyarakat bukan berarti para atlet lekas berpuas diri. Apreasiasi yang diberikan selayaknya menjadi motivasi supaya lebih berprestasi. Jangan sampai setelah mendapat apresiasi malah loyo.
Menurut pebulutangkis muda yang tengah melejit Jonathan Christie, dukungan dan apresiasi masyarakat Indonesia akan membuat para atlet lebih termotivasi dan lebih berjuang untuk menyumbangkan yang terbaik dalam pertandingan-pertandingan selanjutnya. Baginya, keberhasilan yang telah diraih tidak lepas dari support sistem dari sekeliling seperti keluarga dan teman-teman.
Dia mengaku tak ingin terlena dengan kemenangannya merebut medali emas di Asian Games 2018. Pasalnya masih banyak kompetisi lain yang lebih berat dan menguji pembuktian dirinya sebagai atlet bertalenta.
“Saya mau fokus dan cepat recovery-nya. Atlet itu kalau lagi di atas memang banyak orang kenal, tapi kalau kami di bawah nggak pada ingat,” kata atlet yang akrab disapa Jojo dalam mini talkshow di kawasan Bidaracina.
Apalagi menurut Jojo, kesuksesan yang diraihnya tak terjadi begitu saja. Bahkan lebih banyak kegagalan yang datang terlebih dahulu sebelum akhirnya menjadi juara. Dia bercerita sejak sekolah dasar, porsi latihan berat sudah dijalani, namun masih mengalami keterpurukan di berbagai turnamen.
"Beberapa keterpurukan sudah saya alami di pertandingan sebelumnya, bahkan membuat saya down, merasa kecewa dengan hasil yang diraih, padahal saya sudah merasa melakukan yang terbaik. Jadi saya menyimpulkan sukses itu memang tidak langsung, harus tunggu dan bagaimana kita tetap taat dan mengoptimalkan talenta,” ceritanya.
Setali tiga uang, atlet wushu peraih medali perak Asian Games 2018 Edgar Xavier Marvelo mengatakan, tidak ada yang mudah di awal, semua berproses sedemikian rupa dengan perjuangan yang berat.
Yang paling penting, kata Edgar, untuk mencapai keberhasilan adalah tetap fokus terhadap prioritas yang ingin dicapai. Begitu pula setelah mencapai satu keberhasilan bukan berarti berbangga diri, atlet harus tetap konsisten latihan untuk mencapai cita-cita selanjutnya.
Edgar mengatakan atlet harus bisa menahan rasa malas apalagi lelah. Menurutnya yang menjadi tantangan bagaimana membagi waktu antara pendidikan, waktu bersama keluarga, dan hubungan sosial. Tak jarang atlet harus mengorbankan hal tersebut untuk fokus latihan.
“Banyak orang telah merencanakan masa depannya untuk menjadi atlet, tapi tidak banyak yang fokus dan memprioritaskan latihan,” ujar Edgar.
Selain itu, ada anggapan, setelah kebanjiran sanjungan dan apreasi dapat membuat atlet lebih terbebani dari segi mental untuk terus berprestasi. Namun, Edgar menampik, justru apreasi dan sanjungan yang diberikan dapat menjadi suntikan semangat untuk terus berjuang. “Saya menilai itu lebih sebagai suntikan semangat, kalau beban sih tidak,” katanya.
EFEK PSIKOLOGIS
Dari sudut pandang psikologis,menurut teori motivasi setiap prestasi memang layak untuk diapresiasi. Psikolog Universitas Bina Nusantara Nanang Suprayogi mengatakan apresiasi dapat menjadi motivasi eksternal bagi setiap individu untuk meningkatkan performanya.
“Wajar atlet menerima apresiasi, apalagi prestasinya bukan hanya untuk dirinya sendiri namun juga membawa nama baik bangsa. Jadi apreasiasinya masuk ke level lebih tinggi,” ujar Nanang.
Sanjungan dan apreasi yang diterimanya, hendaknya dijadikan pengingat untuk tetap fokus dan berprestasi. Pada intinya, masyarakat mempunyai peran besar untuk membuat atlet tidak mudah “terbang” karena pujian dan tidak mudah tumbang karena cacian.
“Bimbingan mental juga harus dilakukan, ketika menjadi bintang harus dipersiapkan mentalnya, bagaimana agar terlihat sebagai atlet yang baik dan tidak arogan, tidak mereduksi kepribadiannya,” katanya.
Agar tidak menjadi beban ataupun mengganggu mental atlet, apresiasi juga harus dilakukan secara wajar, dan tetap memberikan kesempatan atlet seperti memberikan waktu yang cukup untuk fokus latihan. Misalnya momen apreasinya jangan sampai mengurangi porsi latihan dari atlet, apalagi berdekatan dengan pertandingan selanjutnya.
“Apresiasi juga harus dilakukan secara tepat, dan jangan terlalu menuntut. Dulu pernah kejadian pada atlet sepak bola, ketika hampir final atlet diseret kemana-mana, kemudian waktu yang dipakai untuk istirahat dan latihan berkurang,” jelasnya.
Apalagi, setelah berprestasi pastinya akan semakin banyak dikenal, bahkan tak jarang berbagai tawaran iklan ataupun acara televisi semakin berdatangan. Jika tak terkontrol, efeknya bisa mengarah pada sindroma bintang atau star syndrome sehingga atlet kurang peduli dengan faktor terpenting yang membuat berprestasi menjadi atlet. “Manager atlet juga harus tegas, waktu latihan tidak boleh diganggu gugat,” katanya.
Psikolog Nova Riyanti Yusuf menambahkan, sebenarnya atlet layak untuk menjadi ‘superstar’ karena kerja mereka yang tidak instan, bahkan butuh penggemblengan sejak anak-anak untuk mencapai puncak keberhasilan.
“Jadi atlet dapat memperkenalkan kerja keras bukan serba instan misalnya histeris harus masuk “Idol” seputar menyanyi. Menjadi atlet ibaratnya menjadi pleasure delayer,” tambah Nova.
Menurutnya, menjadi seorang atlet tidak cukup hanya bermodal bakat dan natural insting namun juga harus beriringan dengan latihan yang giat dan kedisiplinan tinggi.