Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke dewasa. Pada saat itu, pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun psikologis anak sangat pesat, termasuk organ reproduksi.
Pada remaja wanita, perkembangan reproduksi ditandai dengan menstruasi yang muncul pertama kali pada usia 12 hingga 13 tahun. Saat itu mereka sudah mengalami masa subur dan bisa hamil.
Rasa ingin tahu yang tinggi, keberanian mengambil risiko, dan kesalahan dalam memilih teman sering kali membuat remaja wanita terjerumus pada pergaulan bebas. Ujung-ujungnya banyak remaja yang melakukan seks bebas atau hubungan di luar nikah. Risikonya tentu saja kehamilan dini yang tidak direncanakan.
Uf Bagazi, dokter spesialis kandungan dari Rumah Sakit Brawijaya mengatakan kehamilan yang dialami oleh para remaja akan memunculkan berbagai efek negatif, apalagi jika dilakukan di luar pernikahan. Selain membahayakan organ reproduksi juga akan mengganggu kesehatan psikologisnya.
Uf mengatakan bahwa pada remaja perbandingan antara mulut rahim dengan leher rahim adalah 1 banding 1 sehingga rahim masih sangat rentan dan belum kuat menampung janin.
“Akibat yang paling mungkin terjadi yaitu kelahiran prematur atau pecah ketuban dini karena rahim tidak kuat menampung,” ujarnya.
Selain itu, sambungnya, kehamilan yang terjadi ketika organ reproduksi belum matang adalah adanya risiko terjadi robekan antara saluran kencing dengan vagina atau saluran pencernaan dengan vagina. Ke depan efeknya akan menimbulkan infeksi yang dapat menurunkan kualitas hidup seorang remaja.
Di samping itu, Uf juga menuturkan banyak remaja yang hamil di luar nikah melakukan praktek aborsi ilegal karena tidak ingin diketahui oleh orang tua dan teman-teman. Bahkan, tidak sedikit yang melakukan aborsi sendiri dengan menenggak berbagai macam obat-obatan.
“Ini tentu sangat membahayakan, tidak hanya bagi ibu tetapi juga janin. Ketika lahir, bayi bisa prematur atau mungkin bisa mengalami kecacatan atau penyakit bawaan karena orang tuanya yang mengonsumsi berbagai obat penggugur kandungan. Bahkan bisa jadi dilahirkan dalam kondisi sudah meninggal,” tuturnya.
Ruben Onsu Gugat Merek Bensu Punya Warga Bandung
Menurutnya, remaja yang hamil juga belum mengerti bagaimana mempersiapkan kehamilan, pengetahuan mengenai gizi dan pemeriksaan kesehatan juga masih sangat terbatas sehingga akan mudah terjadi infeksi karena gizi buruk atau anemia saat hamil karena kekurangan zat besi.
Persalinan pada ibu di bawah usia 20 tahun memiliki kontribusi dalam tingginya angka kematian neonatal, bayi, dan balita. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 menunjukan bahwa angka kematian neonatal, post neonatal, bayi dan balita pada ibu yang berusia kurang dari 20 tahun lebih tinggi dibandingkan pada ibu usia 20-39 tahun.
Tidak hanya pada bayi, kehamilan remaja juga dapat menyebabkan kematian pada ibu karena perdarahan. Baik akibat terganggunya hormon yang menyebabkan terjadinya tekanan darah tinggi atau preeklamsia pada ibu, maupun akibat terganggunya kontraksi rahim.
Edukasi Seks
Menurutnya, edukasi merupakan hal paling penting yang harus dilakukan kepada para remaja mengenai kesehatan reproduksi sehingga dapat lebih menjaga kesehatan dan pergaulan. Sebab, sambungnya, kehamilan muda yang tidak diinginkan tersebut terjadi karena masih minimnya edukasi yang didapatkan.
Hasil SDKI 2012 menunjukan bahwa pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi belum memadai yang dapat dilihat dengan hanya 35,3% remaja perempuan dan 31,2% remaja laki-laki usia 15-19 tahun mengetahui bahwa perempuan dapat hamil dengan satu kali berhubungan seksual.
Tidak hanya bagi para remaja, bagi pasangan yang sudah menikah pun edukasi sebelum kehamilan sangat penting untuk dilakukan agar kesehatan ibu dan bayi dapat benar-benar terjaga hingga masa persalinan tiba.
Sementara itu, psikolog anak dan remaja dari Yayasan Pulih Gisella Tani Pratiwi mengatakan kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja akan menimbulkan berbagai dampak psikologis.
Pakai Lipstik Warna Hitam, Berani?
Seorang remaja yang belum siap menghadapi kondisinya yang sedang hamil akan merasa sangat kaget dan kebingungan apalagi tidak ada pihak yang mendukung yang terjadi malah akan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat karena melakukan hubungan di luar pernikahan.
“Kondisi ini akan menimbulkan tekanan secara psikologis bagi para remaja sehingga memungkinkan mereka mengalami stres dan bisa memicu gangguan psikologis yang mendalam seperti depresi,” tuturnya.
Hal ini akan mendorong mereka untuk melakukan berbagai hal yang akan membahayakan bagi kesehatan ibu dan bayi yang dikandungnya. Apalagi ketika sudah hamil, para remaja wanita tersebut akan memiliki risiko berhenti sekolah sehingga membuatnya tidak dapat mengakses pendidikan untuk pengembangan dirinya ke depan.
Untuk mengatasi dampak negatif tersebut, remaja perlu mencari pihak yang memberikan dukungan baik untuk melalui masa kehamilan dan persalinan juga konseling psikologis dan penanganan medis yang tepat. “Bisa juga mencari komunitas atau support group yang mengalami hal sama agar bisa saling menguatkan,” ujarnya.