Bisnis.com, JAKARTA - Tidaklah mudah menjadi korban kekerasan seksual terhadap perempuan.
Biasanya, setelah mengalami pelecehan, banyak korban yang justru diam dan takut untuk mengungkap apa yang terjadi padanya.
Pendiri Yayasan Lentera Sintas Indonesia Sophia Hage mengatakan, lain itu korban juga seringkali tidak tahu apa yang harus dilakukan dan apa yang dia butuhkan setelah mengalami pelecehan seksual.
Menurut Sophia sangat penting bagi orang-orang terdekat korban untuk bertanya apa yang dia butuhkan.
"Supaya korban mengerti kontrol ada di tangan dirinya, bukan di orang lain," ujarnya kepada Bisnis.com
Selain itu, orang terdekat korban juga diharapkan memberi informasi-informasi yang berguna, seperti lembaga-lembaga yang dapat membantu dan kelompok dukungan yang ada di sekitar.
Dari sisi regulasi, Indonesia memang belum memiliki perangkat hukum yang cukup untuk menghentikan kekerasan seksual terhadap perempuan. Sedangkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual masih digodok di Senayan.
Sophia mengatakan, yang membuat RUU ini adalah bukan tentang meminimalisasi saja, akan tetapi yang seringkali diabaikan adalah penanganan korban kekerasan seksual.
RUU ini, lanjutnya, dirancang untuk menyediakan dukungan yang seharusnya bagi korban, baik dukungan medis, psikologis, maupun hukum.
Selain itu, beleid ini juga memasukkan beberapa bentuk kekerasan seksual di luar perkosaan.
"Karena saat ini hukum kita hanya mengakui perkosaan sebagai satu-satunya bentuk kekerasan seksual di mana definisinya pun terbatas pada penetrasi alat kelamin," katanya.