Bisnis.com, JAKARTA - Seorang remaja berusia 14 tahun, sekitar 1995, berkeliling galeri seni di Bali untuk berburu lukisan, sebuah hobi yang tidak biasa untuk anak seusianya. Pada 1990 saat masih berusia 9 tahun, dia sudah jatuh cinta pada salah satu karya pelukis Antonio Blanco. Anak ini kemudian memboyong koleksi pertamanya itu dengan harga setara Rp65 juta, uang saku yang fantastis untuk anak yang belum genap 10 tahun.
Puluhan tahun kemudian, Daniel Jusuf tumbuh menjadi kolektor yang menyimpan ribuan lukisan di kediamannya. Sebagai kolektor, Bali memiliki tempat yang istimewa dalam perjalanannya karena menjadi tempat bertemunya dia dengan banyak karya fenomenal, salah satunya karya I Gusti Nyoman Lempad. Kini Daniel memiliki ratusan lukisan Lempad, yang disebut-sebut sebagai tokoh pembaharu seni lukis tradisional Bali.
Koleksi lukisan Lempad Milik Daniel itulah yang kemudian ditampilkan dalam pameran karya bertajuk Lempad: Darkness is White di Komunitas Salihara, Jakarta. Sejumlah karya dipamerkan dalam ruang gelap dan berpadu dengan sajian multimedia berupa video mapping dan augmented reality, diiringi music pegulingan khas Ubud. Tak lupa, di tengah-tengah ruang pameran, diletakkan sesajen dan perangkat ibadah masyarakat tradisional Bali, menunjukkan sisi spiritual yang menyatu dalam karya sang seniman.
Seluruh karya yang ditampilkan dalam pameran ini tidak diberi judul dan tahun pembuatan. Namun demikian tetap disediakan deskripsi ringkas dari setiap lukisan. Beberapa potret yang ditampilkan Lempad dalam karyanya antara lain, Rama dan Sinta, kisah Sutasoma, Dukuh Sulastri, Hanoman, Calon Arang, dan keseharian masyarakat Bali.
Budayawan sekaligus pengamat seni Jean Couteau menyebut Lempad telah melakukan revolusi terhadap seni lukis Bali. Lempad dikagumi karena kepiawaiannya dalam menggoreskan garis. Karya-karya Lempad banyak menggambarkan tentang proporsi tubuh yang bersifat klasik-modern.
Pada periode awal berkarya, Lempad mengambil ilham dari cerita klasik, lalu secara perlahan mengembangkan gaya yang lebih bebas yakni tentang kehidupan sehari-hari khas Bali, ketika dunia spiritual berbaur harmonis dengan rutinitas.
Ciri khas Lempad yang jelas terlihat di setiap karyanya adalah sederhana namun unik. Dia selalu menggunakan warna hitam di kekuatan garis dan jarang menggunakan warna lain, kecuali untuk memperkuat akses tertentu. Beberapa warna yang sering digunakan yakni merah, putih, dan hitam, juga sedikit aksen emas yang merupakan bentuk penghayatan nilai filosofi Tri Datu, berpadu dengan nilai keilahian yang disimbolkan dengan prada atau emas.
Perjalanan Karya
Lempad lahir diperkirakan pada 1862 dan menikah saat Krakatau meletus pada 1883. Jean menjelaskan, Lempad adalah seniman serba bisa, yang sebelum melukis dia menekuni profesi arsitek atau undagi di Kerajaan Ubud pada waktu itu.
"Lempad adalah seseorang yang tidak bisa menulis, tetapi sistem nilai, pengetahuan kultural yang beredar di masyarakat Bali pada waktu disalurkan melalui teater. Jadi ada orang yang buta huruf tetapi amat canggih sebagai orang yang memiliki kekayaan budaya," kata Jean di Komunitas Salihara, Jakarta.
Perjalanan karya Lempad dipengaruhi oleh pelukis-pelukis asing yang masuk ke Bali sekitar 1920-an, terutama Walter Spies. Pengaruh modern yang menyentuh Lempad kemudian menyatu dengan memori tradisional dalam dirinya. Jean mengatakan, kedua pertemuan artistik tersebut masih dibalut dengan bakat alamiah Lempad yang menonjol dibandingkan seniman-seniman lain.
Selain pelukis, Lempad juga merupakan seorang ahli arsitektur bangunan tradisional Bali atau undagi, pembuat perangkat upacara, pematung, pembuat topeng, pembuat figur wayang dan elemen upacara ngaben. Tak heran jika tindakan penciptaannya terkait erat dengan dunia spiritual.
Berkesenian bagi Lempad adalah "ngayah" atau jalan spritual. Bgai Jean hal ini yang sulit dipahami oleh generasi seniman saat ini. Konsep "ngayah" sudah banyak ditinggalkan ketika berkesenian tak jauh dari sekadar mata pencaharian. Lempad meninggal dalam usia 116 tahun pada 1978. Dia meninggalkan banyak karya yang belum selesai, namun hal tersebut adalah sebuah kesengajaan. Lempad percaya bahwa "selesai" adalah milik Tuhan dan dengan karya yang tdak diselesaikan, dia berharap generasi berikutnya akan menuntaskannya sehingga tradisi akan terus terpelihara.
Karya-karya Lempad sebenarnya sudah cukup bergaung di dunia internasional. Bersama dengan warisan dan benda seni dari Bali lainnya, lukisan-lukisan Lempad menjadi koleksi di museum-museum luar negeri. Sebeut saja sejumlah museum di Belanda seperti, Museum Volkenkunde di Leiden, Museum Tropen di Amsterdam, dan Museum Wereld di Rotterdam.