Bisnis.com, JAKARTA - Pemalsuan obat di tanah air tampaknya sulit diberantas, dengan masih terus munculnya kasus serupa setiap tahunnya.
Yang terbaru, adalah pemalsuan obat di 197 apotek yang memicu keresahan masyarakat. Meskipun sudah ditindak secara hukum, nyatanya tidak mematikan peredaran obat-obatan palsu di masyarakat.
Pakar dalam bidang hukum, kebijakan publik, dan komunikasi, yang juga menjabat sebagai Director and Senior Consultant Inke Maris & Associates (IM&A), Widyaretna Buenastuti menyebutkan pemalsuan obat masuk dalam kategori kejahatan terhadap kemanusiaan.
Hal itu diungkapkannya dalam sidang Doktor Hukum setelah lulus ujian promosi doktor bidang Ilmu Hukum di Universitas Pelita Harapan (UPH) dengan disertasinya berjudul "Pemalsuan Obat Sebagai Bentuk Kejahatan Terhadap Kemanusiaan".
Widyaretna yang biasa disapa Widya menyampaikan bahwa pemalsuan obat berbeda dengan pemalsuan barang-barang lainnya karena dampaknya pada kesehatan manusia perlu diperhatikan. Dalam kenyataannya, temuan obat palsu di pasaran semakin meningkat.
Secara hukum positif Indonesia Pasal 196 dan/atau Pasal 197 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, katanya, menjadi dasar pemidanaan para pelaku pemalsu obat. Namun, maraknya pemalsuan, rendahnya hukuman pemidanaan menjadi permasalahan hukum tersendiri.
“Disertasi ini mencoba membedah permasalahan dilihat dari perlindungan terhadah pemegang merek, efektifitas hukum dan konsep ideal untuk penegakan hukum kedepannya. Pendekatan melalui kajian terhadap kasus-kasus obat palsu yang diputuskan di beberapa pengadilan yang tersebar di Indonesia, kemudian putusan hakim dalam kasus vaksin palsu di tahun 2016 dijadikan data awal untuk kajian disertasi ini agar dapat menelaah pertimbangan hakim dalam membuat keputusannya terhadap para pelaku kejahatan pemalsuan obat,” papar Widya.
Widya juga menjelaskan kondisi masyarakat yang belum teredukasi dengan baik terkait cara-cara melindungi diri dan keluarga dari ancaman obat palsu merupakan salah satu celah bagi kejahatan pemalsuan obat. Celah ini membuat kejahatan obat palsu tersebut semakin merebak.
Dari sisi produsen obat, belum adanya suatu budaya atau kesadaran institusi untuk memberikan edukasi kepada masyarakat secara rutin dan proaktif terkait pengetahuan sederhana tentang obat dan atau sediaan farmasi, termasuk cara melindungi masyarakat dari ancaman obat palsu. Semua ini di lakukan kajian dengan penelitian secara kuantitatif dengan 458 responden berpartisipasi di dalamnya.”
Mengingat dampak pemalsuan obat ini sangat serius mengancam kesehatan manusia, sedangkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa masyarakat Indonesia berhak untuk mendapatkan hak atas kesehatan. Hak asasi atas kesehatan ini juga di tegaskan kembali di dalam Undang-Undang Kesehatan. Dengan demikian, kejahatan pemalsuan obat adalah kejahatan terhadap kemanusiaan.
Sementara itu, promotor Prof. Dr. Agus Sardjono, S.H, M.H mengungkapkan penormaan kejahatan pemalsuan obat dan peredarannya sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan seharusnya terbaca jelas dan tegas di dalam peraturan perundang-undangan.
Hal ini sebagaimana telah diamanatkan di dalam Pasal 28 I ayat (5) bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia harus dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Penerapan hukuman pidana dan denda maksimal di dalam putusan-putusan pengadilan pun dapat menjadi suatu konsep yang ideal.” "Saya berharap setelah mendapatkan gelar doktor ini bisa mengembangkan ilmunya, serta bisa bermanfaat," pesan Agus Sardjono.
Masalah peredaran obat palsu memang bukan hal yang asing bagi Widya, dimana telah memiliki pengalaman lebih dari 15 tahun dalam bidang kesehatan dan industri farmasi. Widyaretna telah menjabat sebagai public affairs and communications director Pfizer Indonesia (2011-2017) dan menjabat sebagai legal director selama 9 tahun (2002-2011).
Sebelumnya menjadi pengacara selama 6 tahun di Mochtar, Karuwin & Komar Law Office. Dia juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) pada tahun 2008-2017 dan saat ini menjabat sebagai lead advisor. Dia merupakan salah satu pendiri Indonesian Corporate Counsel Association ICCA pada tahun 2004; dan juga pendiri dari Badan Arbitrase dan Mediasi Hak Kekayaan Intelektual pada tahun 2013.
Ujian terbuka yang berlangsung di Gedung D Kampus UPH hari ini, Sabtu (27/07) dipimpin DR.(HC). Ir. Jonathan L. Parapak, M.Eng.Sc selaku Rektor Universitas Pelita Harapan sekaligus Ketua Tim Penguji dengan promotor Prof. Dr. Agus Sardjono, S.H, M.H dan co promotor Dr Henry Soelistyo Budi, S.H, LL.M. Sedangkan tim penguji adalah Prof. Dr. Bintan R. Saragih, S.H. yang juga Dekan FH-UPH, Prof. Dr. Valerine J.L. Kriekhoff, S.H., M.A, Prof. Zen Umar Purba,S.H., LL.M, Prof. Dr.dr. Agus Purwadianto,S.H., M.Si., DFM, Sp.F(K) dan Dr. Ibrahim, S.H., M.H., LL.M