Bisnis.com, JAKARTA - Awam selama ini beranggapan bahwa cairan yang keluar dari puting payudara terjadi pada perempuan yang sedang menyusui. Namun, faktanya tidak selalu begitu. Perempuan yang tidak menyusui, bahkan pria atau bayi bisa mengalami kondisi yang dikenal dengan istilah galaktorea tersebut.
Dalam artikel yang dipublikasikan Antara, Kamis (19/9/2019) dr Dito Anurogo MSc menjelaskan bahwa galaktorea merupakan pengeluaran cairan dari puting payudara yang tak terkait dengan produksi ASI. Meskipun bukan penyakit, ujar dosen FKIK Unismuh Makassar ini, galaktorea dapat merupakan tanda dari problematika kesehatan tertentu.
Galaktorea umum dialami para perempuan berusia 20-35 tahun, baik mereka telah menikah dan berketurunan atau pascamenopause. Uniknya, galaktorea dapat saja dialami pria, bahkan bayi.
Secara medis, galaktorea (galactorrhea) merupakan keadaan di mana laktasi (menyusui) terjadi tanpa didahului kehamilan atau kondisi postpartum (setelah kehamilan), akibat augmentasi nonfisiologis dari pelepasan prolaktin.
Sinyal Masalah Kesehatan
Ilustrasi/youtube-KanadaQbank
Menurut Dito, Galaktorea juga dapat merepresentasikan berbagai macam diagnosis banding. Misalnya kanker payudara, papiloma intraduktus, penyakit Paget pada payudara, dan abses payudara.
"Tanda-gejala galaktorea secara umum berupa keluarnya cairan susu (milky discharge) dari puting susu bilateral baik secara berkala maupun berkesinambungan, keluarnya cairan (ASI) yang melibatkan berbagai saluran kelenjar air susu, keluarnya cairan secara spontan dari puting payudara, memengaruhi satu atau dua sisi payudara, periode menstruasi tidak teratur," ujarnya.
Potret klinis lain dari galaktorea adalah problematika penglihatan atau defek lapang pandang visual (bitemporal hemianopsia), yang ditandai dengan prolaktinoma (tumor jinak kelenjar pituitari), bila meluas atau membesar maka dinamakan makroadenoma.
"Sakit kepala juga dapat dirasakan, terutama pada kasus adenoma pituitari. Bukti keberadaan akromegali, hipotiroidisme, penyakit Cushing dapat ditemukan, bila galaktorea disebabkan oleh salah satu dari ketiga kelainan ini," sambung Dito.
Penderita galaktorea dengan potret klinis berupa penurunan libido, infertilitas (sulit berketurunan), impoten, ketidakteraturan haid (berupa oligomenorrhea atau tidak haid selama lebih dari 35 hari, bisa juga amenorrhea atau tidak haid selama masa reproduktif), boleh jadi karena mengalami hiperprolaktinemia (peningkatan serum prolaktin).
Penderita galaktorea dengan tanda-gejala kelelahan, konstipasi, dan intoleransi dingin (ketidakmampuan beradaptasi di lingkungan dingin), berpotensi besar disebabkan hipotiroidisme (rendahnya hormon tiroid).
Penderita galaktorea dengan manifestasi klinis berupa gugup, gelisah, sering berkeringat, intoleransi panas, penurunan berat badan meskipun terjadi peningkatan selera makan, cenderung disebabkan oleh tirotoksikosis alias kelebihan hormon tiroid di tubuh.
Penyebab Galaktorea
Meskipun belum dapat dipastikan, Dito menyebutkan dugaan bahwa penyebab galaktorea bersifat multifaktorial. Misalnya kondisi setelah melahirkan, stimulasi/rangsangan payudara (hisapan lama) secara berlebihan atau akibat hubungan seksual, iritasi dada (akibat pakaian yang ketat atau tidak sesuai, problematika kesehatan berupa dermatitis atopik, luka bakar, atau herpes zoster).
"Pelbagai penyakit atau gangguan kesehatan juga dapat menjadi kausa galaktorea," ujarnya.
Dalam hal ini Dito menyebutkan sejumlah contoh, yakni adenokarsinoma renal (keganasan atau kanker yang menyerang tubulus renal di ginjal), akromegali (overproduksi hormon pertumbuhan), esofagitis (radang kerongkongan; stimulasi persarafan toraks oleh ganglia torasik dan servikal), gagal ginjal kronis (penurunaan clearance prolaktin), GERD (gastroesophageal reflux disease) yang parah, hipotiroidisme (hambatan umpan balik berkurang, TRH atau thyroid-releasing hormone meningkat, sehingga prolaktin juga meningkat), karsinoma bronkogenik (kanker paru-paru yang bermula dari epitel di bronkus atau bronkiolus).
"Galaktorea juga dapat disebabkan pelbagai keadaan terkait spinal cord atau persarafan tulang belakang (tumor, cedera, atau pembedahan), limfoma (keganasan yang menyerang sistem imun tubuh, terutama limfosit), multipel sklerosis (penyakit saraf yang memengaruhi otak, sumsum tulang belakang, dan saraf penglihatan), penyakit Hodgkin (jenis limfoma), sarkoidosis (radang paru-paru dan kelenjar limfe) dan gangguan infiltratif lainnya, sindrom empty sella, tumor pituitari atau kelenjar endokrin utama (berupa: kraniofaringioma, prolaktinoma), penyakit Cushing, TBC (tuberkulosis yang memengaruhi kelenjar pituitari), trauma mayor. Stres emosional kronis boleh jadi merupakan kausa neurogenik galaktorea," tulis Dito.
Dengan kata lain, lanjutnya, stres psikososial perlu dipertimbangkan sebagai penyebab potensial galaktorea.
Tak hanya itu, beragam zat, medikasi atau obat-obatan juga berpengaruh terhadap kejadian galaktorea. Dalam hal ini dia menyebit agen dopamine-depleting (metildopa, reserpin), amfetamin, asam valproat, atenolol, buspirone, cannabis (ganja), danazol, fenotiazin, golongan ansiolitik, golongan antidepresan trisiklik, golongan penghambat pelepasan dopamin (kodein, heroin, morfin), golongan penghambat reseptor H2/histamin (contoh: simetidin), golongan SSRI (selective serotonin reuptake inhibitors), isoniazid, kokain, medroksiprogesteron dan estrogen terkonjugasi, metoklopramide, oktreotid, opiat, rimantadin, risperidon, stimulasi laktotrof (kontrasepsi oral, verapamil), sumatriptan.
Tanaman obat, tulis Director networking IMA Makassar, pengurus Asosiasi Sel Punca Indonesia, dan dokter literasi digital ini, tanaman obat atau herbal tertentu juga berpotensi menyebabkan galaktorea. Misalnya adas (fennel), adas manis (anise), semanggi merah, raspberry merah, marshmallow. "Operasi payudara, berolahraga juga berpotensi menjadi penyebab galaktorea," tambahnya.
Pemeriksaan
Dito menyebutkansaat pemeriksaan fisik, dokter akan menemukan beberapa patognomonis (karakteristik klinis khas) penderita galaktorea sesuai penyebab yang mendasarinya.
"Misalnya akromegali atau gigantisme (pertumbuhan raksasa) biasa dijumpai pada penderita galaktorea dengan kemungkinan penyebab tumor pituitari. Bila kemungkinan penyebabnya adalah tumor pituitari atau massa intrakranial, maka pemeriksaan fisik menunjukkan adanya neuropati kranial, papiledema (pembengkakan ujung saraf penglihatan karena peningkatan tekanan intrakranial), dan defek lapang pandang," ujarnya.
Sementara bila penyebabnya karena hipotiroidisme, pemeriksaan klinis menunjukkan adanya bradikardia (denyut jantung melambat), goiter, rambut kasar, kulit kering, karotenoderma, miksedema.
Berbeda lagi bila penyebab galaktorea adalah tirotoksikosis. Akan dijumpai takikardia (peningkatan detak jantung), goiter, tangan mengalami tremor, dan eksoftalmos (mata menonjol) pada pemeriksaan fisik.
"Bila galaktorea disebabkan karena hiperandrogenisme kronis, maka pemeriksaan fisik menunjukkan keberadaan akne (jerawat) dan hirsutisme (abnormalitas pertumbuhan rambut)," tambahnya.
Adapun uji laboratorium penderita galaktorea menunjukkan hasil beragam, sesuai penyebab yang mendasarinya. Dapat berupa peningkatan kadar prolaktin, perubahan kadar HCG (Human chorionic gonadotropin) di mana positif pada saat kehamilan, perubahan kadar hormon TSH (thyroid stimulating hormone) yang meningkat pada kondisi hipotiroidisme, perubahan kadar kreatinin dan BUN (blood urea nitrogen) yang meningkat pada keadaan gagal ginjal, perubahan kadar glukosa darah (meningkat pada sindrom Cushing).
"Pada pemeriksaan urinalisis (analisis air seni) dapat dijumpai adanya darah (hematuria) pada kondisi karsinoma sel renal (keganasan ginjal). Pada pemeriksaan mikroskopis cairan puting susu, dapat dijumpai beragam globul lemak, berkurangnya material seluler, yang terlihat nyata tanpa pewarnaan spesifik. Densitometri tulang perlu dipertimbangkan bila dicurigai adanya gangguan tulang, baik osteopenia maupun osteoporosis (tulang keropos)," ujar Dito.
Studi Pencitraan
Dito menegaskan, pemeriksaan penunjang selain uji laboratorium dan densitometri dapat direkomendasikan oleh tim medis sesuai indikasi. Dokter dapat menyarankan studi pencitraan (imaging) berupa MRI (magnetic resonance imaging) atau CT (computed tomography) scan. "MRI otak direkomendasikan bila terjadi peningkatan kadar prolaktin, amenore (ketidakteraturan haid), atau defek lapang pandang visual terdeteksi pada pemeriksaan fisik."
Sementara bila pada penderita dijumpai kontraindikasi, dokter merekomendasikan CT scan otak beresolusi tinggi dengan potongan koronal spesial melalui area pituitari. Bagaimanapun juga, ujarnya, pemeriksaan dengan CT scan berpotensi kurang dapat mendeteksi lesi-lesi kecil.
Solusi
Dito menyebutkan ada beberapa strategi untuk menangani galaktorea. Pertama, menghindari stimulasi payudara yang berlebihan. Kedua, menghentikan penyebab potensial yang mendasarinya.
"Bila dijumpai hipotiroidisme, maka perlu diberi tatalaksana dengan terapi penggantian hormon tiroid. Galaktorea sekunder akibat pengaruh estrogen ibu pada bayi dapat sembuh sendiri dan tidak memerlukan pengobatan. "Keputusan untuk memberikan penatalaksanaan galaktorea perlu mempertimbangkan kadar serum prolaktin, tingkat keparahan galaktorea, dan fertilitas penderita," ujarnya.
Ketiga, pada keadaan normoprolaktinemia penderita dengan galaktorea idiopatik yang tidak mengganggu, tidak diperlukan terapi.
Keempat, pasien normoprolaktinemik dengan galaktorea yang mengganggu dapat berespons dengan pemberian kabergolin 0,25 mg dosis rendah dua kali seminggu.
Pada pasien dengan gangguan hiperprolaktinemia, dapat diberikan obat golongan agonis dopamin, misalnya bromokriptin dan kabergolin.
Kelima, galaktorea akibat prolaktinoma dapat ditangani secara medis, melalui surveilans yang cermat, sesuai ukuran dan pertumbuhan tumor, gejala terkait, dan kadar prolaktin.
Keenam, prosedur pembedahan atau operasi dilakukan bila terjadi intoleransi, resistensi, atau kegagalan terapi, dijumpai problematika neurologis atau lainnya akibat ekspansi tumor secara langsung.
Ketujuh, radioterapi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan makroadenoma yang resisten atau tidak toleran terhadap terapi medis dan saat pembedahan belum berhasil.