Seorang pria memegang kemasan rokok di Paris (25/9/2014)/Istimewa
Health

Setop Paparan Rokok pada Anak Mulai dari Rumah

Rezha Hadyan
Senin, 27 Juli 2020 - 19:07
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Tak dapat dipungkiri, rokok masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan lebih dari 80 juta anak Indonesia. Bahkan ancaman tersebut juga mengintai di tempat yang seharusnya paling aman, yakni tempat tinggal atau rumah mereka.

Rumah yang seharusnya bebas dari asap rokok justru menjadi tempat dimana mereka menghirup berbagai jenis zat berbahaya dari asap rokok. Berdasarkan survei dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada 2019, 57,8% anak Indonesia terpapar asap rokok di rumahnya.

Tentu saja pihak yang paling banyak memberikan sumbangsih paparan asap rokok terhadap anak di rumah adalah orang tua dari anak itu sendiri. Tak sedikit orang tua Indonesia yang merokok di dekat anaknya, bahkan yang berusia balita.

Bukan pemandangan aneh di Indonesia melihat seorang bapak asyik merokok di teras rumahnya sambil menggendong anaknya yang masih balita. Selain menjadikan anak sebagai perokok pasif, hal tersebut di kemudian hari tentunya berpotensi menjadi contoh bagi si anak untuk diam-diam mengisap rokok secara langsung lantaran rasa penasarannya.

Menurut Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan dr. Kirana Pritasari masih banyak orang tua di Indonesia yang belum paham betapa bahayanya asap rokok terhadap pertumbuhan anak-anak mereka. Dia menyebut anak dari orang tua perokok lebih berpotensi untuk mengalami stunting dibandingkan dengan anak dari orang tua non-perokok.

"Masih banyak rumah yang belum bebas dari asap rokok. Padahal paparan asap rokok terhadap anak ini juga meningkatkan potensi stunting pada anak hingga 5,5%," katanya dalam webinar memperingati Hari Anak Nasional bersama Fatayat Nahdlatul Ulama dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), Senin (27/7/2020).

Apa yang disampaikan oleh Kirana didasari oleh hasil studi PKJS-UI pada tahun 2018 menunjukkan anak-anak dari orang tua perokok kronis memiliki pertumbuhan berat badan secara rata-rata lebih rendah 1,5 kg dan pertumbuhan tinggi badan rata-rata lebih
rendah 0,34 cm.

Selain itu, dampak kejadian stunting tersebut juga berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan atau intelegensi anak lantaran kebutuhan gizi yang tak terpenuhi akibat tingginya ketergantungan akan rokok. Hal tersebut lazim terjadi pada kelompok masyarakat miskin.

Adapun, upaya yang dilakukan oleh Kemenkes untuk mengatasi permasalahan tersebut sejauh ini adalah menggalakkan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat dan penguatan kawasan tanpa rokok. Untuk memaksimalkan aturan kawasan tanpa asap rokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 109/2012 pasal 49 pihaknya terus mendorong pemerintah daerah untuk menyiapkan peraturan daerah terkait.

"Saat ini sudah ada 398 peraturan daerah dan peraturan bupati atau walikota yang khusus megatur kawasan tanpa asap rokok," ungkap Kirana.

Walaupun demikian, dia tak menampik bahwa upaya untuk membebaskan anak-anak dari asap rokok, khususnya dari rumah mereka tidak bisa dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah. Perlu dukungan dari seluruh elemen masyarakat untuk mewujudkan hal tersebut.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Margaret Aliyatul Maimunah mengatakan orang tua, sekalipun dia adalah perokok jangan pernah merokok di depan anak atau memperlihatkan dukungannya terhadap perokok.

"Selain tidak merokok di rumah atau di dekat anak, orang tua juga jangan menyuruh anak untuk membeli rokok, memberikan dukungan kepada orang untuk merokok di dalam rumah dengan memberikan uang rokok atau menyediakan asbak contohnya," tuturnya.

Margaret menyebut dengan melakukan hal demikian maka orang tua sudah menjalankan perannya dengan baik sebagai teladan bagi anaknya. Karena tak dapat dipungkiri apa yang dilakukan oleh orang tua akan ditiru oleh anaknya di kemudian hari.

"Kemudian jangan juga melarang anak merokok karena alasan ekonomi. Larang karena alasan kesehatan. Jika dilarang karena alasan ekonomi ketika anak sudah punya uang sendiri atau dewasa tentunya dia akan menjadi perokok juga," tegasnya.

Terakhir yang paling penting adalah adanya komitmen bersama untuk menjadikan rumah sepenuhnya bebas asap rokok. Komitmen tersebut tentunya harus diikuti oleh penyuluhan bagaimana pentingnya perilaku tidak merokok kepada seluruh anggota keluarga.

Salah satu contoh dari komitmen keluarga ditunjukkan oleh sejumlah anggota Fatayat NU. Beberapa perempuan anggota Fatayat NU sudah menjadikan rumah mereka kawasan tanpa asap rokok, termasuk asap rokok dari suaminya sendiri.

Menurut Ketua Umum Fatayat NU Anggia Ermarini sejumlah anggota Fatayat NU sudah menerapkan hal tersebut dengan memberikan tanda atau peringatan dilarang merokok dan tidak menyediakan asbak di rumahnya masing-masing. Tentunya diiringi oleh penyampaian informasi terkait bahaya asap rokok terhadap anak.

"Selama masa pandemi Covid-19 tentunya aktivitas lebih banyak dilakukan di rumah. Dengan demikian aktivitas merokok ikut berkurang kdan akhirnya konsumsi ikut berkurang. Hal tersebut berdampak pada pemenuhan kebutuhan keluarga sehari-hari," ujarnya.

Anggia menyebut berkurangnya konsumsi rokok pada akhirnya sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan primer, yang sebelumnya uang untuk membeli rokok dapat untuk dibelikan makanan/kebutuhan pokok lainnya. Terlebih di tengah kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini.

"Banyak yang akhirnya menyadari betapa besarnya pengeluaran untuk membeli rokok dibandingkan dengan kebutuhan-kebutuhan primer lainnya," ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rezha Hadyan
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro