Bisnis.com, JAKARTA – Pandemi Covid-19 menimbulkan kecemasan bagi banyak orang tak terkecuali penderita kanker paru-paru.
Menurut dr. Sita Laksmi Andarini, SpP(K), Ph.D kanker paru adalah jenis kanker yang berhubungan erat dengan orang berisiko. Dalam hal ini risiko paling tinggi dari penderita kanker paru dimiliki oleh orang yang merokok.
Sita menjelaskan hal ini diperparah dengan kondisi prevalensi perokok di Indonesia yang terus mengalami kenaikan. Dalam prevalensi aktivitas merokok di dunia, Indonesia menepati posisi ketiga setelah China dan India.
“Jadi dengan tingginya prevalensi perokok di Indonesia, angka kanker paru sulit berkurang, malah bertambah apalagi seiring dengan meningkatnya perokok usia muda,” kata Sita dalam diskusi melalui IG Live bersama CISC Indonesia, Sabtu (8/8/2020).
Menurut Sita selama masa pandemi ini sejumlah metode pengobatan kanker paru terkendala akibat pembatasan sosial. Meski demikian, para penderita kanker paru tidak boleh sampai mengabaikan atau melewatkan serangkaian pengobatan yang sudah ditentukan oleh dokter.
“Misalnya imunoterapi, kemoterapi mungkin juga bisa jadi terkendala, tapi obat-obatan dan penerapan protokol kesehatan jangan diabaikan,” tuturnya,
Sita menyebutkan seseorang yang berhenti melakukan perawatan kanker paru, baik kemoterapi maupun obat-obatan, akan lebih rentan pada penyakit lain termasuk Covid-19.
Dia memberi contoh penghentian sementara pengobatan ibarat merontokkan lagi blokade atau sistem pencegahan yang sudah dibangun selama pengobatan.
Metode pengobatan tak hanya kemoterapi dan imunoterpi. Kini penderita kanker sudah memiliki ragam treatment baru dan obat yang bisa dimanfaatkan sesuai ketentuan dari dokter.
“Yang paling penting pengobatan jangan terlambat, tata laksana langsung treatment. Misalnya tak mau kemoterapi tapi tetap harus mau kalau penderita diarahkan biopsi. Memang menyeramkan ada banyak alat masuk ke badan, tapi kalau tak diobati sama sekali jauh lebih berbahaya,” terangnya.