Bisnis.com, JAKARTA -- Istana kenegaraan sebagai simbol pemerintahan menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan juga ekonomi.
Sejarawan Pusat Studi Budaya dan Laman Batas Universitas Brawijaya FX Domini BB Hera menjelaskan, ada 6 istana di seluruh Indonesia namun 5 berpusat di Jawa dan hanya 1 di Bali.
Kondisi ini menyebabkan dari sisi ekonomi menjelaskan alasan sejarah perputaran uang dan ekonomi Indonesia juga menjadi sangat terpusat di Jawa dan Bali.
Pasalnya, peninggalan bersejarah dari penjajah khususnya aset dan bangunan sejenis istana juga paling banyak hanya berada di Jawa. Hal ini juga disebabkan sejak zaman penjajahan, infrastruktur di Jawa jauh lebih maju jika dibandingkan daerah lain di luar Jawa.
Kondisi ini juga menjelaskan sejak zaman kemerdekaan, sampai sekarang infrastruktur di daerah lain juga masih minim.
"Seharusnya perlu ada strategi dari pemerintah pusat untuk menangani hal ini,” kata Sisco kepada Bisnis beberapa waktu yang lalu.
Untuk bisa mengintegrasikan istana sebagai simbol pemerintah juga sebagai aset yang bisa dikapitalisasi untuk kepentingan ekonomi, perlu ada kebijakan serius dari pemerintah dalam hal pemanfaatkan bangunan cagar budaya di setiap daerah.
Sisco menyebut, dengan rencana pembangunan ibu kota misalnya, otomatis Indonesia akan menorehkan sejarah lain membangun istana di Kalimantan. Meski begitu, pembangunan istana baru tanpa nilai historis yang kuat malah akan cenderung menghabiskan anggaran secara sia-sia.
Sisco pun mengusulkan pentingnya pemerintah melakukan pemugaran pada aset cagar budaya di setiap daerah. Hasil pemugaran itu bisa menjadi tempat penginapan atau pesanggarahan bagi presiden, pejabat negara, ataupun tamu kenegaraan.
“Kita saat ini sudah bisa menyulap perbatasan negara jadi lebih bagus. Kita punya banyak sejarah bangunan di seluruh Indonesia. Perlu cara pemanfaatan aset bangunan bersejarah di setiap daerah sebagai tempat menginap Presiden apalagi saat kunjungan kerja. Jadi Presiden tidak perlu menginap di hotel, tapi bisa memanfaatkan aset cagar budaya itu,” ungkap Sisco.
Dia menambahkan, pemerintah juga perlu memikirkan cara untuk mengubah mekanisme istana menjadi lebih ramah bagi rakyat. Kemudahan akses masuk bagi rakyat akan mendorong aktivitas di istana ataupun cagar budaya lain menjadi lebih menarik. Imbasnya, angka pengunjung dan wisatawan di daerah tersebut juga pasti akan meningkat.
Sebagai contoh, Istana Tampak Siring, di Bali adalah salah satu istana yang dekat dengan rakyat dan bisa dipakai untuk berwisata. Pemerintah daerah juga memudahkan akses dan sangat mempromosikan istana ini menjadi ikon wisata.
"Akhirnya kunjungan wisatawan ke istana pada tahun 80-an saja lumayan tinggi,” tutur Sisco.
Dia menilai agar kebijakan atau political will seperti yang diterapkan di Bali dalam pengelolaan Istana Tampak Siring bisa diterapkan di daerah lain khususnya di Istana Bogor dan Istana Cipanas. Apalagi dua istana ini adalah istana yang punya fungsi sebagai tempat peristirahatan presiden.