Bisnis.com, JAKARTA – Langkah menekan angka perokok anak melalui cukai rokok dinilai belum tentu efektif.
Hal itu diragukan keefektifannya jika masalahan fundamental tentang bahaya merokok tidak diselesaikan dengan baik melalui edukasi kepada masyarakat.
Berdasarkan data Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), dikutip Minggu (25/10/2020), harga rokok yang masih murah merupakan penyebab tingginya perokok anak di Indonesia.
Faktor lain di luar harga adalah akibat pergaulan antaranak usia di bawah 15 tahun yang cenderung mempengaruhi satu dengan yang lain untuk merokok.
Kajian yang dikeluarkan PKJS-UI ini juga merupakan hasil asimilasi data yang dikeluarkan sebelumnya oleh Indonesia Family Life Survey (IFLS).
Dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia Renny Nurhasanah menyatakan ketergantungan orang terhadap rokok memberi efek domino terhadap kemiskinan dan stunting.
Masih berdasarkan data dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), pada 2018 dan 2019 kenaikan jumlah perokok di Indonesia berbanding lurus dengan risiko kemiskinan dan stunting.
Ditilik dari sisi kesehatan, merokok sangat memberi dampak tidak hanya kepada perokok aktif melainkan juga perokok pasif yang dalam beberapa kasus dialami para ibu hamil.
“Kemungkinan anak yang mengalami stunting dari orang tua yang perokok itu lebih dari 5,5 persen, karena merokok mempengaruhi intelegensia anak secara tidak langsung,” ungkap Renny.
Tak hanya itu, pilihan orang beralih membeli rokok membuat akses untuk kebutuhan rumah tangga menjadi terhambat. Konsumsi rokok berhubungan secara signifikan dengan kemiskinan.
Pasalnya, 1 persen kenaikan belanja rokok meningkatkan peluang terhadap kemiskinan sebesar 6 persen pada rumah tangga.
“Sementara peningkatan pengeluaran rokok dibarengi dengan penurunan pengeluaran makanan untuk sumber protein dan karbohidrat yang mana punya jangka panjang efek stunting pada anak jika tak lengkap,” sambungnya.
Menurut Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan dari sisi efektivitas aturan ini memang belum optimal karena adanya sejumlah kondisi yang masih kontraproduktif.
Terlihat dari data Riskesdas pada 2018, prevalensi perokok di bawah umur, usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen pada 2013, menjadi 9,1 persen pada 2018.
Padahal pemerintah sudah meluncurkan Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 yang membatasi iklan dan promosi produk tembakau, melarang penjualan di bawah usia 18 tahun, dan mewajibkan informasi imbauan kesehatan pada kemasan produk tembakau.
Penyebab utama masih tingginya angka perokok di Indonesia karena rendahnya edukasi pada perokok. Edukasi mendasar yang belum terpenuhi dengan baik ini masih diperparah dengan harga rokok di Indonesia yang sangat murah.
Pingkan menegaskan pentingnya pemerintah melalui Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBCHT) sebesar 2 persen dari total cukai tembakau pada tingkat nasional, untuk ditransfer ke pemerintah daerah.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/2017, Pasal 2, setidaknya 50 persen dari dana yang dikeluarkan harus dialokasikan untuk mendukung program kesehatan di area bersangkutan.
Sisanya, harus dimanfaatkan untuk antara lain peningkatan kualitas bahan mentah, pengembangan industri, pengembangan lingkungan sosial, sosialisasi pengenaan cukai, dan pemberantasan barang-barang illegal.
“Jadi, jika kontribusi pemda pada cukai sangat tinggi, maka akan semakin tinggi pula jumlah yang diterima kembali dari DBCHT,” terangnya.
Berkaca dari sejumlah dinamika itu, dia mengusulkan empat cara yang perlu segera dilakukan pemerintah.
Pertama, Kementerian Kesehatan lebih efektif dalam mengeksekusi tugas dan tanggung jawabnya yang tertera pada Bab VI, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012.
Hal ini terutama untuk mengevaluasi kembali Pasal 57 dan meningkatkan implementasi kampanye kesadaran publik yang sejauh ini belum obyektif.
Kedua, Kemenkes seharusnya melakukan lebih banyak penindakan kampanye untuk melawan penjualan rokok kepada konsumen di bawah umur.
Menaikkan harga jual eceran minimum dan tarif cukai produk tembakau tahun ini seharusnya dilengkapi dengan penyederhanaan sistem perpajakan.
Ketiga, Kemenkes harus mengevaluasi potensi dampak kesehatan dari produk alternatif yang tergolong pengurangan-dampak buruk.
Keempat, petani tembakau membutuhkan dukungan teknis dengan meningkatkan kemampuan teknologi mereka.
Menanggapi hal itu, dr. Theresia Sandra Diah Ratih, MHA, Kasubdit Penyakit Paru Kronis dan Gangguan Imunologi Kementerian Kesehatan pun mengakui kurangnya edukasi dan pengawasan juga memicu tingginya angka perokok yang utamanya disumbang dari golongan remaja dan anak di bawah umur.
Dia pun menyoroti ruang pergaulan dan ruang keluarga sebagai salah satu wadah penularan kebiasaan merokok pada anak di bawah umur.
Dia memerinci bahwa paparan asap rokok di rumah diperkirakan 57,8 persen, di tempat umum yang tertutup mencapai 66,2 persen, tempat umum yang terbuka sekitar 67,2 persen. Untuk paparan dari iklan dan program sponsor rokok juga cukup besar.
Misalnya, di tempat penjualan rokok bisa mencapai 65,2 persen, di media luar gedung mencapai 60,9 persen, media sosial sebesar 36,2 persen, dan TV bahkan mencapai 65,2 persen.
“Oleh sebab itu, Kemenkes berkonsentrasi pengembangan KTR [Kawasan Tanpa Rokok] yang diperluas tiap daerah, kabupaten, dan kota yang mau membuat peraturan soal kawasan tanpa rokok dan mendorong implementasinya,” jelas Sandra.