Bisnis.com, JAKARTA - Covid-19 kembali membawa kabar duka bagi dunia entertainment. Kali ini, dalang senior Ki Manteb Soedharsono yang meninggal dunia usai terpapar virus yang menyerang pernapasan itu.
Kabar duka disampaikan pendiri Sanggar Rumah Cinta Wayang Dwi Woro Retno Mastuti yang menyebutkan bahwa aki-laki yang pernah tampil sebagai perwakilan dalang di acara UNESCO pada 2003 itu meninggal dunia akibat infeksi Covid-19.
Kepergiannya, meninggalkan duka bagi dunia entertainment, khususnya pecinta dunia seni wayang. Karena dia dikenal sebagai maestro dunia pewayangan.
Selama hidup, Ki Manteb memiliki pengaruh besar dalam dunia pewayangan di Indonesia. Terutama sejak dia mendapatkan penghargaan di sebuah perlombaan dalang di Surakarta, Jawa Tengah pada tahun 1972.
Akan tetapi, perjalanan karir dalang Ki Manteb sudah dimulai sejak dia masih kecil berkat pengaruh dari kedua orangtuanya. Kepiawaian dan darah seninya mengalir dari ayahnya Ki Hardjo Brahim Hardjowijoyo yang juga merupakan seorang dalang dan ibunya Ni Darti yang merupakan seorang penabuh gamelan.
Pengaruh ini kemudian membuatnya lebih mendalami ilmu pewayangan dengan bantuan Ki Nartosabdho dan Ki Sudarman Gondodharsono dari Semarang, Jawa Tengah.
Ki Manteb mulai populer melalui serangkaian inovasi selama beliau ndalang, mulai dari kemampuan dalam menampilkan manipulasi wayang selama pertarungan dan dansa hingga dramaturgi yang disajikan dengan ciri khas layaknya menonton sebuah film dan kombinasi unsir teknis yang membuat penampilannya semakin ciamik. Inilah yang kemudian membuatnya dijuluki sebagai 'Dalang Setan'.
Salah satu penampilan ikoniknya adalah penampilan wayang dengan lakon Baratayudha yang ditampilkan selama 24 jam 28 menit tanpa istirahat hingga akhirnya berhasil mendapatkan rekor Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) untuk pementasan wayang kulit terlama. Menariknya, kondisinya masih tetap prima setelah pentas selesai kala itu.
Karena kontribusinya yang besar dalam dunia pewayangan kulit, laki-laki yang terakhir kali menjabat sebagai Dewan Empu Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta tersebut mendapatkan sejumlah penghargaan di tingkat nasional dan internasional.
Beberapa di antaranya adalah Nikkei Asia Prize Award untuk kategori kebudayaan pada 2010 dan Certificate of Remakable Contribution dari organisasi seni budaya Union Internationale de la Marionnette atau International Puppetry Association (UNIMA) pada 2017.
Penghargaan ini diberikan karena upayanya dalam melestarikan dan memajukan kebudayaan Indonesia serta produktivitasnya di dalam kesenian tersebut.
Guru Kehidupan
Selain sebagai seniman, Ki Manteb juga aktif mengajar dan berbagi ilmu di beberapa perguruan tinggi. Berdasarkan penuturan pendiri Sanggar Rumah Cinta Wayang Dwi Woro Retno, Ki Manteb adalah sosok yang rendah hati dan bijaksana, serta sosok guru kehidupan bagi semua orang termasuk para juniornya.
"Dari beliau saya belajar bahwa hidup itu selalu saling menghormati, selalu mong-kinemong (saling asah asih asuh), selalu bisa mendengarkan atau menjadi pendengar. Ikuti perintah khalifatullah atau pemimpin negara (manut kemawon), selalu gembira. Pelindung bagi mereka yang lemah, selalu mengayomi, selalu ceria lucu," kenangnya.
Dia menambahkan bahwa sang maestro juga mengajarkannya untuk sepi ing pamrih, rame ing gawe atau bekerja keras tanpa mengharapkan imbal jasa, serta bekerja dengan sepenuh hati. Tidak hanya itu, dia juga mengajarkan untuk selalu mengasuh, selalu gembira, selalu ikut saja, dan selalu melindungi.
Salah satu kejadian yang mengena baginya adalah ketika dosen Sastra Jawa Universitas Indonesia itu pernah mengundang Ki Manteb untuk mendalang di Universitas Indonesia (UI) meski dengan keterbatasan dana yang terkumpul dari para mahasiswa. Dia mengingat perkataan Sang Maestro kala itu.
Dengan dana berapapun yang diperoleh melalui Komunitas Wayang UI dan mengajak Rektor UI saat itu, Prof Mohammad Anis, untuk memberikan gelar Makara Utama pada 2015.
Selain Retno, seniman Sudjiwo Tedjo juga berbagi kisah mengenai kejadian mengharukan dari Ki Manteb saat ndalang di sebuah acara partai. Dia berbagi bahwa sang maestro pernah diminta untuk mengganti beskap yang dikenakan karena warna yang digunakan merupakan warna saingan partai itu.
"Ia menolak ganti beskap yang dadakan dicarikan panitia. Sebab beskapnya dibikin sendiri oleh Bu Manteb saat ultah Pak Manteb, dan pas ndalang itu pas ultah Bu Manteb," jelasnya dalam cuitan di akun Twitter pribadinya.
Untungnya upaya itu dilerai oleh seorang anggota senior yang akhirnya membuat para panitia kala itu akhirnya memahami jalan pikiran Ki Manteb.
Selamat jalan, Ki Manteb Soedharsono, sang legenda wayang kulit dengan segala kontribusi dalam seni wayang kulit dan nilai-nilai baik yang diajarkan kepada semua orang.