Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah tengah mengembangkan vaksin berbasis nuclead acid atau DNA.
Menurut Menkes, vaksin ini kini sedang difinalisasi dengan badan kesehatan dunia WHO.
Lantas apa vaksin DNA?
Dilansir dari laman resmi WHO, vaksin dengan metode DNA ini, tidak seperti pendekatan vaksin yang menggunakan mikroba utuh atau sebagian yang dilemahkan atau mati.
Pendekatan asam nukleat adalah cara baru untuk mengembangkan vaksin. Sebelum pandemi COVID-19, belum ada yang melalui proses persetujuan penuh untuk digunakan pada manusia, meskipun beberapa vaksin DNA, termasuk untuk kanker tertentu, sedang menjalani uji coba pada manusia.
Karena pandemi, penelitian di bidang ini telah berkembang sangat cepat.
Dilansir dari website GAVI, vaksin asam nukleat atau DNA ini pada dasarnya menggunakan bahan genetik dari virus atau bakteri penyebab penyakit (patogen) untuk merangsang respons imun terhadapnya.
Materi genetiknya berupa DNA yang memberikan instruksi untuk membuat protein spesifik dari patogen, yang akan dikenali oleh sistem kekebalan sebagai benda asing (antigen). Setelah dimasukkan ke dalam sel inang, materi genetik ini dibaca oleh mesin pembuat protein sel itu sendiri dan digunakan untuk memproduksi antigen, yang kemudian memicu respons imun.
Ini adalah teknologi yang relatif baru, sehingga meskipun vaksin DNA sedang dikembangkan untuk melawan berbagai penyakit, termasuk HIV, virus Zika, dan COVID-19, sejauh ini belum ada yang disetujui untuk digunakan pada manusia. Beberapa vaksin DNA dilisensikan untuk penggunaan hewan, termasuk vaksin kuda melawan virus West Nile.
Bagaimana vaksin asam nukleat memicu kekebalan?
Sepotong DNA yang mengkode antigen pertama kali dimasukkan ke dalam plasmid bakteri.
Plasmid DNA yang membawa antigen biasanya disuntikkan ke dalam otot, tetapi tantangan utamanya adalah membuat mereka menyeberang ke sel manusia. Ini adalah langkah penting, karena mesin yang memungkinkan antigen diterjemahkan menjadi protein terletak di dalam sel.
Berbagai teknologi sedang dikembangkan untuk membantu proses ini seperti elektroporasi, di mana pulsa arus listrik pendek digunakan untuk membuat pori-pori sementara di membran sel pasien; 'senjata gen' yang menggunakan helium untuk mendorong DNA ke dalam sel kulit; dan mengenkapsulasi DNA dalam nanopartikel yang dirancang untuk menyatu dengan membran sel.
Setelah DNA berada di dalam sel dan mulai memproduksi antigen, kemudian ditampilkan di permukaannya, di mana mereka dapat dideteksi oleh sistem kekebalan tubuh, memicu respons. Respon ini termasuk sel T pembunuh, yang mencari dan menghancurkan sel yang terinfeksi, serta sel B yang memproduksi antibodi dan sel T pembantu yang mendukung produksi antibodi.
Seberapa mudah mereka untuk memproduksi?
Setelah genom patogen telah diurutkan, relatif cepat dan mudah untuk merancang vaksin terhadap salah satu proteinnya.
Kecepatan ini bisa menjadi sangat penting dalam menghadapi epidemi baru yang muncul, patogen pandemi atau patogen yang bermutasi dengan cepat.
Vaksin DNA mudah diproduksi, tetapi proses pembuatannya sedikit berbeda. Setelah DNA yang mengkode antigen telah disintesis secara kimia, DNA tersebut dimasukkan ke dalam plasmid bakteri dengan bantuan enzim spesifik prosedur yang relatif mudah.
Beberapa salinan plasmid kemudian diproduksi di dalam tong raksasa dari bakteri yang membelah dengan cepat, sebelum diisolasi dan dimurnikan.
Dalam kedua kasus, vaksin untuk antigen yang berbeda dapat diproduksi di dalam fasilitas yang sama, yang bisa mengurangi biaya. Cara ini tidak mungkin diterapkan untuk sebagian besar vaksin konvensional.