6. Malaysia
Tujuan pemindahan ibu kota adalah untuk mencapai pemerataan pembangunan di daerah. Namun, ketika Malaysia memindahkan Ibu Kotanya ke Putrajaya sebagai kota administratif pemerintahan, pegawai pemerintah justru tidak tertarik untuk tinggal di sana.
Alasan yang sering muncul adalah mereka tidak ingin tinggal jauh dari keluarga dan kerabat mereka. Marcus Lee, seorang ekonom urban senior, juga berpendapat pemindahan Ibu Kota oleh Malaysia tidak efektif dalam mencapai tujuan untuk menyeimbangkan populasi dan aktivitas ekonomi dasar.
7. Korea Selatan
Kondisi ibu kota de facto baru Korea Selatan di Sejong hampir mirip dengan situasi di Malaysia.
Banyak pegawai pemerintah di Korea Selatan yang menolak dipindahkan ke Sejong dengan alasan tidak ingin melakukan perjalanan bolak-balik ke Seoul setiap minggunya.
Selain itu, kehidupan sosial mereka sebagian besar berpusat di Seoul. Mereka menganggap Sejong sebagai kota yang "tidak memiliki jiwa".
8. Tanzania
Melansir dari BBC, pemindahan ibu kota Tanzania ke Dodoma tidak dianggap sebagai sukses.
Meskipun parlemen nasional berkumpul di Dodoma saat sidang berlangsung, sebagian besar kementerian pemerintah dan semua kedutaan asing tetap berada di ibu kota lama, Dar es Salaam. Hal ini menunjukkan bahwa pemindahan tersebut tidak sepenuhnya berhasil dalam mengalihkan pusat kegiatan pemerintahan dan administrasi ke Dodoma.
9. Bolivia
Bolivia memiliki dua ibu kota: Sucre dan La Paz. Sucre merupakan ibu kota tunggal hingga tahun 1899, ketika kalah dalam perang saudara singkat melawan La Paz.
Setelah itu, parlemen dan pelayanan sipil pindah ke kota terbesar Bolivia, La Paz, sementara kekuasaan yudikatif tetap berada di Sucre.
Sucre, yang terletak di tengah negara, merupakan tempat Bolivia didirikan pada tahun 1825. Kota ini memiliki populasi hanya sekitar 250.000 orang, dibandingkan dengan 1,7 juta orang di La Paz.
Pada 2007, diusulkan untuk memindahkan parlemen dan pemerintahan kembali ke Sucre. Namun, usulan ini memicu protes massal di La Paz yang digambarkan sebagai protes terbesar yang pernah terjadi di sana.
Usaha untuk memindahkan pusat pemerintahan kembali ke Sucre akhirnya ditinggalkan, dan hingga saat ini Bolivia masih memiliki dua ibu kota.
Ide ini muncul sebagai hasil dari persaingan regional antara pendukung Presiden Evo Morales di dataran tinggi barat yang miskin dan lawan-lawannya di wilayah timur yang lebih makmur.
Dengan demikian, Bolivia memiliki Sucre sebagai ibu kota konstitusional dan sejarah, sementara La Paz menjadi ibu kota administratif. Perbedaan ini mencerminkan dinamika politik dan sejarah Bolivia yang kompleks.