Bisnis.com, JAKARTA - Berdasarkan laporan Future Health Index (FHI) Indonesia 2023, mayoritas tenaga kesehatan memilih bekerja di rumah sakit yang memiliki kecerdasan buatan atau AI dalam perawatan kesehatan dan pengiriman perawatan.
Pemilik fasilitas layanan kesehatan Indonesia juga memilih untuk semakin beralih ke kecerdasan buatan untuk meningkatkan pemberian perawatan dan efisiensi operasional.
Saat ini, hampir sepertiga atau 32 persen berinvestasi dalam teknologi kecerdasan buatan, dengan 76 persen berencana melakukannya dalam tiga tahun mendatang.
Laporan ini menyoroti minat dalam kecerdasan buatan baik dari pemilik layanan kesehatan maupun profesional muda.
Mereka memprioritaskan penggunaan kecerdasan buatan untuk memprediksi hasil pasien, mendukung keputusan klinis, dan mengoptimalkan efisiensi operasional.
Selain itu, banyak 46 persen responden menyebutkan ingin mendapatkan pelatihan yang lebih baik tentang teknologi baru dan sebanyak 42 persen akses ke alat diagnostik canggih sebagai faktor kunci untuk meningkatkan perawatan pasien.
Selain itu, para profesional kesehatan muda juga menyatakan lebih tertarik untuk bekerja di institusi rumah sakit yang memiliki teknologi canggih.
Sementara itu, 77 persen responden di Indonesia tercatat aktif menggunakan atau berencana menggunakan solusi kesehatan digital.
Angka ini melebihi rata-rata global sebesar 56 persen.
Survei ini melibatkan hampir 3.000 responden dari 14 negara, dengan 200 responden berasal dari Indonesia.
"Sebanyak 37 persen sering menyebutkan opsi yang berpusat pada komunitas, termasuk berkonsultasi dengan populasi rentan dan sebanyak 31 persen menyebutkan untuk meningkatkan perawatan pada pasien yang tidak terlayani dan membangun kemitraan di luar sistem kesehatan mereka untuk dapat memberikan perawatan sebaik mungkin," papar Astri Ramayanti, Direktur Utama Philips Indonesia.
Selanjutnya, sebanyak 33 persen responden baik pemimpin maupun profesional muda juga menyebutkan bahwa berkolaborasi dengan komunitas lokal untuk meningkatkan kesehatan populasi sebagai keuntungan dari model pemberian perawatan yang baru.
Namun, para profesional muda, sebayak 79 persen, lebih memprioritaskan implementasi teknologi untuk tenaga kesehatan/perawat, 78 persen memprioritaskan pusat layanan tanpa janji, dan 74 persen memprioritaskan program literasi atau edukasi kesehatan.
Selanjutnya, bukti secara klinis dan finansial mengenai manfaat model pemberian layanan baru juga akan menjadi pendorong penting untuk penerapan lebih lanjut oleh penyedia layanan kesehatan dan pengguna.