10. Bandara Pattimura, Ambon (AMQ)
Bbandara yang terletak di Kota Ambon, Provinsi Maluku melayani perjalanan domestik.
Dulunya, bandara ini bernama Lapangan Terbang Laha Ambon pada tahun 1939 oleh pemerintah Belanda.
Namun, kekuasaan berpindah tangan ke pemerintahan Jepang di tahun 1942 untuk melawan sekutu dal.perang dunia II.
Setelah kekalahan Jepang, Indonesia mengambil alih penerbangan pada tahun 1945.
Nama Pattimura diambil oleh pahwalan nasional yang berasal dari kota tersebut.
Setelah dikelola oleh PT Angkasa Pura, bandara berstatus kelas I dengan sistem pemnafaatan pangakalan TNI AU Pattimura.
Pengembangan proyek Patimuraa diresmikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, 3 Maret 2004
11. Bandara Husein Sastranegara, Bandung (BDO)
Nama Bandar udara Husein Sastranegara diambil dari seorang pilot militer AURI yang gugur saat latihan terbang di Yogyakarta, pada 26 September 1946.
Bandara ini adalah landasan udara bekas penjajahan Pemerintah Hindia Belanda dengan sebutan Lapangan Terbang Tadir.
Baca Juga Bandara di Semarang, Solo, Hingga Palembang Turun Kasta Khusus Lokal, INACA Ungkap Keuntungannya |
---|
Saat Belanda berhasil diusir tentara Jepang, bandara digunakan untuk pangakalan militer Jepang sampai tahun 1945.
Pasca kemerdekaan, bandara sempat mengalami vakum sampai tahun 1949 dan kemudian aktif kembali untuk penerbangan komersial di tahun 1973 guna penerbangan komersial.
Setahun kemudian, kantor Perwakilan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara bernama Stasiun Udara Husein Sastranegara Bandung dibangun untuk kegiatan pelayanan lalu lintas dan angkutan udara.
12. Bandara H.A.S Hanandjoeddin, Tanjung Pandan (TJQ)
H.A.S Hanandjoeddin merupakan tokoh militer yang akhirnya digunakan untuk bandar udara yang terletak di Tanjung Pandan.
Bandara ini mulanya bertaraf internasional serta domestik dari Belitung ke Jakarta, Pangkal Pinang, Kuala Lumpur, Singapura, Bandar Lampung dan Palembang.
Pada tahun 2015, pemerintah setempat menyuntikan dana untuk pembenahan infrastruktur bandara guna mempercantik kondisi bangunan.
Mengingat Pulau Belintung kaya akan destinasi wisata dan termasuk dalam proyek strategis nasional.
Walaupun sejak lama telah bertaraf internasional, bandara ini baru diresmikan sebagai sebagai bandara udara internasional pada 2017.
13. Bandara Jenderal Ahmad Yani, Semarang (SRG)
Mulanya bandara ini diperuntukan untuk pangkalan udara TNI Angkatan Darat serta dibentuknya Perwakilan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Udara di Luas Ahmad Yani Semarang.
Hal itu tertuang dalam Surat Keputusan Bersama Panglima Angkatan Udara, Menteri Perhubungan dan Menteri Angkatan Darat Nomor: KEP-932/9/1966.83/1966 dan S2/1/-PHB tanggal 31 Agustus 1966 tentang status Pelabuhan Udara Bersama Kalibanteng Semarang.
Namun, adanya lonjakan aktivitas masyarakat, pada 1O Oktober 1995 kepemilikan bandar udara diserahkan ke PT Angkasa Luar I.
Masuk di tahun 2000-an, tepatnya 10 Agustus 2004, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 64 Tahun 2004.
Surat itu mengatur tentang pelayanan Angkatan Udara ke atau dari Luar Negeri melalui Bandara tersebut.
Bandara Ahmad Yani berperan penting untuk kegiatan aviasi di bagian barat Kota Semarang.
14 Bandara Adi Soemarmo, Solo (SOC)
Sebelum diresmikan menjadi Adi Soemarmo, bandara ini mulai bernama Pangkalan Udara Panasan sesuai nama daerah beridirnya bandara udara.
Barulah pada 25 Juli 1977, Pangkalan Udara Panasan berubah nama menjadi Pangkalan Udara utama Adi Sumarmo yang berasal dari nama adik Agustinus Adisucipto, Adisumarmo Wiryokusumo.
Bandara ini berhasil memegang izin rute penerbangan internasional pada 31 Maret 1989 dengan layanan penerbangan Solo-Kuala Lumpur & Solo-Singapore-Changi.
Hingga akhirnya digarap oleh PT Angkasa Pura I untuk mendongkrak fasilitas dan memperbaiki layanan serta infrastruktur bandar udara.
15. Bandara Banyuwangi, Banyuwangi (BWX)
Pembangunan ini pada awalnya digarap oleh Bupati Purnomo Sidik sebagai landasan pacu pesawat capung untuk menyemprotkan pestisida ke hama wareng.
Di tahun 2003, lahan diubah menjadi landasan penerbangan melalui Surat Keputusan Menteri (Kepmen) nomor 49 tahun 2003.
Namun, pembangunan sempat mengalami masalah karena adanya kasus korupsi yang dilakukan oleh Bupati Samsul Hadi dan Bupati Ani Lestari.
Pemerintah pun optimis untuk melanjutkan pembangunan, di mana pada tanggal 9 Februari 2009, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara mengeluarkan surat nomor 167/DBU/II/2009.
Dalam surat itu tertuang bahwa bandara bisa digunakan untuk lepas landa dan mendarat pesawat jenis CASA.
Pada 29 Desember 2010, bandara membuka layanan penerbangan komersial dari maskapai Sky Aviation, tapi berhenti beroperasi setelah setahun melayani masyarakat.
Berbagai maskapai lain juga sempat menjajaki di bandar udara tersebut, tapi operasinya di berlangsung lama.
Hingga pada Desember 2018, Bandar Udara Banyuwangi resmi melayani penerbangan perdana rute internasional yakni Banyuwangi - Kuala Lumpur (Malaysia) dan sebaliknya
16. Bandara Syamsuddin Noor, Banjarmasin (BDJ)
Bandara Syamsudin Noor dibangun kembali oleh pemerintahan Jepang pada tahun 1944.
Pada tahun 1948, pemerintah Belanda mengambil alih bandara setelah menghancurkan lapangan udara yang sempat diduduki Jepang.
Setelah Indonesia diakui secara internasional sebagai negara Republik, bandara tersebut dikelola oleh pemerintah Indonesia.
Tahun 1974, bandara menjadi landasan pacu yang didarati oleh pesawat jenis Fokker F-28.
Bandara diperuntukan untuk kegiatan udara maupun darat. Dalam menetapkan nama bandara, sempat terjadi perdebatan hebat tentang nama pahlawan yang cocok untuk diabadikan sebagai nama bandara.
Hingga akhirnya Letnan Udara Satu Anumerta Syamsudin Noor dipilih untuk dijadikan nama bandara yang sebelumnya bernama lapangan terbang Ulin.
Pada tahun 2019, Presiden Jokowi meresmikan terminal baru dibandara Syamsudin Noor.
17. Bandara Frans Kaisiepo, Biak (BIK)
Pada tahun 1944, sekutu mengalahkan Jepang dan menduduki lapangan terbang di Ambroben.
Tiga tahun berselang, setelah perang usai, Belanda mengakuisisi lapangan terbang ini.
Lapangan ini diberi nama Mokmer yang pada tahun 1959 siap didarati pesawat DC-8. Pada tahun 1962, Bandara Mokmer diserahkan ke UNTEA (United Nations Temporary Executive Administration), badan PBB yang mengurus Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) Irian Barat.
Lalu, tahun 1969 Bandara Mokmer secara resmi diberikan ke Indonesia. Pada tahun 1984 , Indonesia mengubah nama Bandara Mokmer menjadi Bandara Frans Kaisiepo.
Penerbangan internasional pun dilakukan pada tahun 1996-1998 dengan rute Jakarta Denpasar-Biak-Honolulu-Los Angeles.
Akibat krisis ekonomi, penerbangan itu sempat terhenti padahal pembangunan tengah digalakkan.
Saat ini, tak jauh dari Bandara Frans Kaisiepo, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) telah membangun stasiun dengan fasilitas yang lengkap. (Muhammad Sulthon Sulung Kandiyas)