Bisnis.com, JAKARTA - Langgeng Art Foundation (LAF) menggelar diskusi dengan tema “Bincang Seniman dan Kurator” dengan menghadirkan Hendro Wiyanto, kurator pameran Kuota #4: Kepingan dan Aminudin TH Siregar, kurator sekaligus seniman yang berpartisipasi dalam pameran ini.
Hendro Wiyanto akan menyampaikan kerangka kuratorialnya sementara Aminudin Th Siregar akan mengelaborasi kecenderungan karya seni rupa Indonesia yang menggunakan modus repetisi dengan perspektif sejarah pada diskusi yang berlangsung Jumat (19/7).
Karya seni rupa di sekitar kita – setidaknya sejak dekade 1970an- makin tampak sebagai tanda kehadiran atau presentasi yang jamak. Ungkapan rupa tidak melulu tampil sebagai yang utuh atau tunggal, yang tak terbagi.
Sebaliknya, seniman kerapkali menampilkan strategi artistik yang mengesankan rupa himpunan, konstitusi bagian, sempalan, kepingan atau (peristiwa) penggalan.
Presentasi yang satu atau amung, yang cenderung mengesankan kehadiran yang serba-singular kian menjauh dari penglihatan kita. Tata rupa serba tunggal digantikan oleh bentuk rangkaian yang saling terhubung, bersifat fragmentaris, bahkan sambung-putus, seraya mengesankan ungkapan rampak (selaras).
Melalui tata rupa yang jamak – sesudah masa 1970an itu- kita dibanjiri oleh karya-karya pretelan yang mengandung ungkapan baru, seperti misalnya karya serial, perulangan, himpunan acak kepingan, atau serangkaian keserupaan atau kesaling-miripan. Pendeknya, mengutip amatan seorang kritikus “one-ness is killed either by repetition or fragmentation”.
Bagian niscaya diperlukan untuk keseluruhan, tapi bagian seolah-olah juga hadir atau dapat dibayangkan sebagai representasi totalitas-keseluruhan itu sendiri. Tegangan-permainan dan relasi antara yang sempalan dan yang utuh pada tata rupa yang jamak karya-karya seni rupa kita tentunya menarik untuk diamati.
Apakah kecenderungan estetik itu merupakan tuntutan representasi subjektif atau gagasan mengenai kesinambungan “sejarah” ruang yang dianggap objektif? Apakah bagian ibarat sebuah proposisi sederhana yang membentuk sebuah ungkapan jamak – seperti dalam bahasa- untuk memahami realitas yang kompleks? Hal tersebut akan dibahas dalam diskusi ini.