Bisnis.com, JAKARTA - Prevalensi kasus kanker serviks di Indonesia cukup tinggi. Setiap hari ditemukan 20 kasus kematian akibat kanker leher rahim ini. Dan jutaan perempuan di negeri ini berisiko mengidap kanker serviks.
Tingginya kasus kanker serviks di Indonesia dipicu oleh beberapa hal. Diantaranya faktor geografis negeri ini yang terdiri dari 13.000 pulau, tidak adanya program skrining, kurangnya fasilitas sitologi dan terapi, dan kurangnya kepatuhan pasien untuk melakukan pemeriksaan rutin.
“Selain itu sebagian besar kasus ditemukan pada stadium lanjut. Jadi, masih banyak kendala, bila hanya memakai program deteksi dengan menggunakan pap smear,” kata dokter Fitriyadi Kusuma, SpOG (K), Konsultan Kanker Kandungan dan Staf Pengajar FKUI di Divisi Onkologi Ginekologi Departemen Obstetri dan Ginekologi, pada acara SOHO #BetterU: Hari Ibu, Kamis (19/12/2013).
SOHO #BetterU adalah program serial edukasi kesehatan, yang diselenggarakan oleh perusahaan farmasi SOHO Global Health. Tema kali ini adalah dalam rangkaian menyambut Peringatan Hari Ibu ke-85 yang jatuh pada 22 Desember nanti.
Fitriyadi menuturkan kanker serviks adalah penyakit yang disebabkan oleh Human Papilloma Virus (HPV), yang menyerang leher rahim dan membutuhkan proses panjang antara 3-20 tahun untuk menjadi sebuah kanker yang diawali dengan infeksi.
Hal inilah yang menyebabkan hampir 80% kasus yang ditemukan sudah dalam stadium lanjut. Jenis kanker yang satu ini berjalan lambat (silent disease), sehingga pada stadium prakanker dan kanker stadium awal tidak menimbulkan gejala atau keluhan sama sekali.
Pertanda awal kanker serviks, katanya, ditemukan adanya perdarahan pasca berhubungan intim tanpa disertai rasa sakit, keputihan berulang, berbau dan tidak dapat sembuh dengan pengobatan biasa.
Pada stadium lanjut, akan mengalami rasa sakit pada bagian paha, atau salah satu paha mengalami pembengkakan. Nafsu makan menjadi berkurang, berat badan tidak stabil, susah buang air kecil dan mengalami pendarahan spontan.
Fitriyadi menjelaskan insiden kanker serviks dapat diturunkan dengan pencegahan primer. Yaitu meningkatkan pengetahuan tentang kanker serviks, penularan dan gejalanya, serta pemberian vaksinasi HPV. Dan pencegahan sekunder dengan melakukan skrining inspeksi visual dengan asam asetat (IVA), tes pap dan metode pemeriksaan lain.
IVA adalah prosedur untuk mengetahui kelainan pada epitel serviks (sel yang melapisi leher rahim), dengan menggunakan asam asetat 3%. Tes yang dilakukan melalui IVA adalah cara yang murah, sederhana dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan untuk dapat mendeteksi dini prakanker serviks.
“Teknik pemeriksaan IVA merupakan metode paling tepat, dan bisa diterapkan untuk negara berkembang seperti Indonesia. Selain IVA, deteksi kanker serviks juga dapat dilakukan melalui tes pap. Yaitu pemeriksaan dengan mengambil contoh sel-sel leher rahim, kemudian dianalisa untuk mendeteksi kemungkinan adanya kanker serviks,” ungkapnya.
Dia mengatakan pemberian vaksin HPV disarankan pada remaja putri berumur 9-12 tahun. Sebab, mereka umumnya belum terpapar virus HPV atau belum berhubungan intim.
Berdasarkan rekomendasi Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI), lanjutnya, vaksinasi HPV dapat diberikan pada wanita sampai usia 55 tahun. Vaksinasi HPV berfungsi untuk memicu kekebalan tubuh sehingga dapat terlindung dari HPV.