Bisnis.com, JAKARTA - Patung yang terbuat dari kayu itu tegak berdiri. Warnanya cokelat dengan tubuh telanjang. Kedua tangannya mengapit sebuah kaki patung lain. Patung ini diukir oleh orang-orang suku Asmat. Tradisi mengukir di Asmat lahir dari upacara keagamaan yang dianut.
Suku Asmat masih mempertahankan kepercayaan terhadap nenek moyang. Di beberapa wilayah di Asmat bahkan terdapat upacara pengorbanan pemotongan kepala manusia dan kanibalisme untuk menenangkan arwah nenek moyang. Maka, dalam sosok-sosok patung ukiran tersebut konon terdapat roh nenek moyang.
Ragam dan bentuk seni ukir suku Asmat memang didominasi oleh warna kecokelatan. Hal tersebut merujuk pada seni tradisi sebagai pengabdian baik kepada ruh leluhur atau kepercayaan lain. Seni ukir patung Asmat dianggap memiliki kekuatan gaib, sehingga keanekaragaman seni di Asmat terus dilestarikan.
Patung-patung itu terkumpul dalam Pameran Keramik & Kayu di Bentara Budaya Jakarta yang berlangsung pada 27 Februari - 9 Maret 2014. Sebanyak 90 koleksi yang juga milik Bentara Budaya tersebut dipamerkan kepada khalayak. Keramik koleksi tersebut merupakan hasil perintisan, perburuan dan pengumpulan oleh PK Ojong, salah satu pendiri Kompas Gramedia yang mencapai lebih dari 1.000 koleksi.
Coba tengok Baju Shaman misalnya. Baju ini biasanya dikenakan ketika upacara oleh seorang dukun di suku Asmat. Sepintas, kita akan langsung teringat akan orang-orangan sawah jika melihat wujud Baju Shaman ini. Baju tersebut terbuat dari rumput kering, kulit kayu, daun pandan hutan yang dikeringkan serta diberi ornamen kerang-kerang dan tanduk rusa.
Kemudian, beberapa senjata asal Asmat juga tak lupa dipamerkan. Tombak, misalnya yang terbuat dari kayu dengan ujungnya yang tajam dilengkapi penutup terbuat dari paruh burung atau kuku burung kasuari. Mata tombak Asmat ini memiliki gerigi yang beragam. Bentuknya ada yang polos tetapi tajam. Senjata ini digunakan oleh orang asmat sebagai alat untuk mempertahankan hidup.
Sementara itu, koleksi keramik yang dimiliki Bentara Budaya berusia beragam mulai dari abad ke-10. Beberapa keramik berwarna biru dan putih terlihat berjejer di sudut kanan Bentara Budaya. Keramik ini diperkirakan dibuat pada abad ke-18 hingga 19 dari Dinasti Ching. Keramik-keramik ini berfungsi sebagai tempat duduk berbentuk segi enam dan bulat.
Bentara Budaya juga memiliki beberapa guci pada masa Dinasti Tang yang bertipe Guangdong pada Abad ke-8 hingga 9. Pada masa tersebut koleksi-koleksi dibuat dengan bentuk sederhana, tanpa hiasan atau masih berbentuk kasar kekuningan yang tidak merata. Guci tersebut konon banyak ditemukan di Jawa Tengah.
Dua buah guci berukuran sedang terlihat sudah mulai rusak terutama di bagian mulut guci bagian atas. Di badan guci pun terlihat mengelupas sehingga warnanya kelihatan agak pudar. Sementara, koleksi jenis Tempayan pada masa Dinasti Yuan abad 12-14 masih tampak orisinal tanpa polesan warna. Beberapa Tempayan berbentuk botol itu diduga telah digunakan untuk air raksa pada masanya.
Ipong Purnamasidhi, Kurator Bentara Budaya Jakarta dalam catatan kuratorialnya mengatakan dengan digelarnya pameran tersebut, Bentara Budaya Jakarta mencoba tidak membatasi diri dengan rentang waktu, jenis bahan dan muasal kehadiran keramik yang dikoleksi sejak 1980-an tersebut.
Menurutnya, justru Pameran Keramik & Benda Kayu, menghadirkan keanekaragaman keramik dari sisi bentuk. Beberapa bentuk koleksi bisa dilihat dari gerabah berbentuk celengan, cetakan kue, guci botol, gentong, guci hingga piring yang diperkirakan berasal dari dinasti Cina.
Sementara itu, koleksi benda-benda yang berasal dari Asmat diperoleh juga pada 1980-an. Pihaknya mengakui, sejak pengoleksian dilakukan, artefak bersejarah tersebut disimpan di ruang khusus Bentara Budaya dan jarang dipublikasikan ke khalayak luas. “Maka, melalui keragaman bentuk dan historik ini, kami ingin berbagi dengan khalayak tentang keunikan koleksi Bentara Budaya Jakarta,” ujarnya.