Bisnis.com, JAKARTA - Ternyata, tidak banyak masyarakat yang tahu kalau ada peringatan hari buku, baik Hari Buku Nasional setiap 17 Mei dan juga Hari Buku Internasional setiap 23 April.
Hal tersebut pernah saya tanyakan kepada beberapa siswa sekolah yang pernah saya temui, dan juga sejumlah teman yang menurut saya termasuk orang yang suka membaca dan mengkoleksi buku, apalagi koleksi buku bacaannya bagus-bagus, ternyata juga tidak mengetahui ada hari buku tersebut.
Pencanangan Hari Buku Nasional pada saat peresmian Perpustakaan Nasional di Jakarta, 17 Mei 1980. Sementara, peringatan Hari Buku Internasional dirancang dan diselenggarakan besar-besaran oleh Unesco pada 1995. Sejak saat itu, peringatan rutin setiap tahun dilakukan di berbagai negara.
Namun sayang, di tengah gegap gempita perayaan hari buku di sejumlah negara itu, ada sebuah fakta yang kurang enak terjadi di Tanah Air ini.
Dari data United Nations Educational, Scientific and Cultural (UNESCO) pada 2012, menyatakan bahwa indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, dari setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca.
Penelitian Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan UNDP juga menyatakan angka melek huruf orang dewasa di Indonesia pada 2002 hanya 65,5%, sebagai perbandingan, Malaysia telah mencapai 86,4%.
Kemudian, apabila dihitung dari jumlah buku yang diterbitkan dibandingkan dengan jumlah penduduk, satu buku di Indonesia dibaca sekitar 80.000 orang.
Praktisi dan Pengamat Pendidikan Arief Rahman Hakim mengatakan ada beberapa hal yang menjadi penyebab utama minimnya tingkat baca di Indonesia.
Pertama, kultur atau budaya masyarakat Indonesia yang memang bukan masyarakat baca, tetapi masyarakat verbal.
"Mereka lebih suka mendengarkan. Pengalaman-pengalaman dan sejummlah pengetahuan hidupnya kebanyakan diperoleh dari penuturan, bukan proses membaca," tuturnya.
Penyebab kedua, masih banyak masyarakat yang berfikiran tidak perlu membaca karena tidak begitu berpengaruh pada kehidupannya, padahal hal itu penting.
"Untuk anak-anak sekolahan maupun universitas pasti wajib membaca, akan tetapi orang-orang di pasar, mereka merasa tidak perlu membaca dan lebih banyak suka mendengar," ujarnya.
Penyebab ketiga, dan paling penting adalah banyaknya siswa atau murid dari sekolah dasar hingga sekolah menengah yang mencapai 51 juta yang tidak sebanding dengan jumlah pengajar yang hanya sekitar 2,7 juta.
"Jumlah murid itu berada di gunung, pantai, kota, desa, dll. Jangan bandingkan dengan minat baca Singapura, yang jumlah muridnya hanya sekitar 4 juta, tidak sebanyak Indonesia yang mencapai 51 juta," ujarnya.
Mengenai minimnya penerbitan buku juga berkaitan dengan budaya masyarakat Indonesia yang lebih suka bercerita dari pada menulis, meskipun sebenarnya akhir-akhir ini sudah ada perkembangan banyak yang suka menulis.
Sementara, menurut Damien Dematra, seorang penulis buku mengatakan penyebab minimnya minat baca dikarenakan generasi muda zaman sekarang lebih suka bahasa visual dari pada imjinatif melalui bacaan.
"Munculnya media televisi semakin memanjakan itu dan turut andil dalam semakin menurunkan minat baca buku masyarakat, terutama kalangan generasi muda," ujarnya.
Namun, meskipun begitu, pihaknya menyarankan perlu ditambah buku-buku yang inspiratif dan juga perlu diperbanyak perpustakaan-perpustakaan di daerah, terutama daerah pinggiran.
Berawal dari keprihatinan terhadap hal tersebut, Kamis (12/6), Tanoto Foundation meluncurkan penerbitan dua buku di kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ), demi meningkatkan minat baca masyarakat.
Karena, salah satu penyebab masih minimnya minat baca di masyarakat adalah minimnya buku bacaan yang berkualitas dan inspiratif.
Dua buku tersebut berisi cara-cara kreatif yang telah diterapkan oleh guru dan tenaga pendidik lain di sekolah di Indonesia, dan kisah-kisah inspiratif mereka yang dikumpulkan dalam dua buah buku bertajuk 'Oase Pendidikan di Indonesia' dan 'Menjadi Sekolah Terbaik'.
Dalam buku Oase Pendidikan di Indonesia, kisah seorang guru di Yogyakarta yang mengajarkan kejujuran pada anak lewat budaya menabung setiap hari ke celengan.
Akan tetapi suatu ketika celengan tersebut hilang, dan sang guru mengajak dialog anak-anak untuk saling mengungkapkan perasaan sejujur-jujurnya, karena jujur itu menyenangkan, dan tidak dihinggapi rasa takut.
Selain itu, ada juga ketika seorang guru mengajak murid-muridnya membuat jepit rambut untuk kemudian dijual yang hasilnya dikumpulkan untuk membantu teman kelasnya yang lain yang kurang mampu, dan masih banyak kisah inspiratif lainnya.
Anderson Tanoto, anggota Dewan Penasihat Tanoto Foundation mengatakan penerbitan buku tersebut merupakan wujud komitmen Tanoto Foundation untuk menciptakan tenaga pengajar yang berkualitas di Indonesia melalui kualitas buku-buku bacaan.
Lestari Boediono Head of Corporate Communications Tanoto Foundation mengatakan guru berperan besar dalam memotivasi dan memberikan contoh ide kreatif di dalam proses pembelajaran kepada peserta didik.
Dia mengatakan proses pembelajaran yang baik mampu membuka wawasan, kreatifitas anak didik sehingga mampu berpikir mandiri. Menurutnya konsep belajar kreatif dan inovatif pada dasarnya merupakan penerapan teori dan praktik dalam kehidupan sehari-hari.
"Banyak cara yang bisa dilakukan oleh pada guru dan tenaga pendidik lain untuk menciptakan sebuah suasana belajar yang efektif sekaligus menyenangkan dan tidak membosankan, salah satunya dengan belajar dari buku-buku yang berisi kisah-kisah inspiratif mengenai pendidikan," tuturnya.