Cakra Homestay Solo/JIBI
Travel

PENGINAPAN SOLO:Cakra Homestay Bekas Pabrik Batik Berumur 150 Tahun

Demis Rizky Gosta
Rabu, 17 September 2014 - 17:10
Bagikan

Bisnis.com, SOLO -- Budaya tidak hanya benteng peradaban. Budaya juga merupakan amunisi, alat untuk menarik minat peradaban lain.

Beberapa hotel di Solo sadar atas kekuatan budaya lokal. Mereka membangun bisnis mereka dengan budaya jawa, Solo pada khususnya, sebagai kekuatan utama.

Sebuah penginapan bernama Cakra Homestay berdiri di tengah kepadatan bangunan Kampung Batik Kauman. Ada keunikan yang memisahkan Cakra dari puluhan penginapan berlabel homestay yang ada di Kauman.

Penginapan tersebut adalah bangunan bekas pabrik batik yang mengelilingi sebuah rumah tua yang usianya lebih dari 150 tahun.

Sangking tuanya, rumah asli yang berbentuk joglo  masih memiliki sebuah kamar bekas sembayang hindu. Agama yang memudar dari tanah Jawa sekitar 300 tahun lalu.

Sebuah ruang kecil bekas tempat pemujaan terletak di tengah kamar diapit oleh sepasang patung pria dan perempuan yang mengenakan pakaian tradisional jawa.

Staf Cakra Homestay, Dwi menjelaskan kamar itu sekarang beralih fungsi sebagai tempat kumpul-kumpul keluarga pemilik.

Selain itu, Cakra Homestay memiliki sebuah kamar besar yang berisi perlengkapan gamelan lengkap yang usianya sudah lebih dari setengah abad.

Sebuah kelompok musik gamelan rutin berlatih di ruangan tersebut setiap Senin dan Kamis malam.

Alunan gamelan tersebut sekaligus memberikan warna tersendiri bagi turis asing yang bermalam yang ingin merasakan langsung budaya jawa.

Omah Sinten memiliki cerita berbeda. Hotel yang berlokasi tepat di depan Pura Mangkunegaran tersebut lahir dari ambisi Slamet Raharjo.

Memasuki Omah Sinten memberikan kesan masuk ke sebuah perkampungan di pelosok Jawa.

Sebuah pendopo di halaman yang rindang berdiri sebagai pusat kompleks bangunan, diapit oleh dua bangunan yang berfungsi sebagai hotel dan restoran.

Sulit membayangkan Omah Sinten baru berusia lima tahun jika melihat warna pudar pada kayu dan atap bangunan. 

Jika pengunjung bukan warga lokal, kemungkinan besar mereka akan berpikir bangunan tersebut adalah bangunan lama yang dipugar.

Mereka tidak sepenuhnya salah, karena sebagian dari bangunan ternyata memang bangunan lama.

Fondasi kayu dan atap pendopo di pekarangan, misalnya, adalah struktur berusia lebih dari 80 tahun yang dipindahkan dari Desa Kaliyoso, Sragen.

Slamet juga menggunakan batang kayu bekas bantalan rel kereta api sebagai anak tangga yang melingkar naik ke atas dapur restoran.

Nuansa jawa yang sangat kental juga berasa dari dinding dan plafon kamar hotel, ruang pertemuan, dan tempat pemutaran film.

Dinding diselimuti oleh bata merah dan kayu jati, sedangkan plafon ruangan dihiasi oleh kain batik yang terjahit rapi.

Lea, manajer Omah Sinten, mengatakan Omah Sinten juga memastikan sajian musik yang mengalun di restoran adalah musik tradisional. Secara bergantian, penampilan gamelan dan keroncong Jawa menemani berbagai sajian makanan tradisional di restoran.

“Yang paling spesial adalah Nasi Golong. Ini adalah menu kesukaan Mangkunegoro I, yang dibawa ketika perang geriliya,” kata Lea.

Nasi Golong adalah nasi yang dikepal di dalam bungkusan daun pisang dan disajikan beserta urap sayuran, ayam, tempe, tahu, dan sayur bening.

Bagi Royal Surakarta Heritage, nuansa jawa yang kental memberikan hotel di Bundaran Gladag itu status khusus di dunia internasional.

Hotel tersebut adalah bagian dari MGallery, kelompok hotel bernuansa kemewahan budaya lokal di bawah konglomerasi hotel internasional Accor.

Unsur Solo sudah dihadirkan begitu pengunjung memasuki lobi yang didesain menyerupai pintu masuk Pura Mangkunegaran.

Seluruh staf hotel berpakaian tradisional jawa dan welcome drink yang diberikan adalah gula asam dan serabi notosuman.

Setiap sore, hotel yang dulu bernama Best Western Premier juga menghadirkan musik hidup gamelan di lobi hotel.

Namun, yang paling khas dari Royal Heritage adalah ratusan ornamen batik, wayang, dan topeng yang memenuhi lobi hingga lorong hotel.

Hampir seluruh ornamen hotel berasal koleksi pribadi Imelda Tio Sundoro, pemilik Royal Heritage Solo.

Ornamen wayang dan batik juga ditemui di setiap kamar dengan desain yang berbeda, termasuk di kamar mandi.

Ika, Manajer Humas Accor Solo, mengatakan hampir seluruh desain ruangan hotel merupakan buah pikiran Imelda.  “Semua ini Ibu Imelda, beliau juga ingat semua. Kalau satu saja ada yang tidak kelihatan, dia pasti tahu,” kata Ika.

Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro