Bisnis.com, JAKARTA-- Berawal dari kegelisahan sejumlah pihak atas kondisi bangunan di Kota Tua, maka dicanangkan pendidikan dan komunitas seni di Kota Tua Jakarta.
Upaya ini diharapkan menjadi cara bersama melestarikan warisan sejarah, dengan menggandeng komunitas seni dan memberi wadah bagi mereka untuk berkreasi.
Tiga gedung Tjipta Niaga di Jalan Malaka 7-9 Roa Malaka Jakarta Barat, dipilih menjadi pusat pendidikan dan komunitas seni di Kota Tua Jakarta.
Direktur Utama PT Jakarta Old Town Revitalization Corporation Lin Che Wei mengatakan, kerap proses produksi film berlatar belakang Kota Tua tak peduli pada bangunan warisan budaya.
“Seringkali orang membuat film tanpa memperhatikan heritage. Supaya gambarnya bagus saja. Kadang-kadang pintu yang berusia 200 tahun dicat, tembok yang sudah puluhan tahun dirusak. Saya ingin agar komunitas ini menjadi komunitas yang sadar terhadap pelestarian budaya. Bukan hanya membuat film yang bagus,” katanya.
Bangunan dua lantai dengan luas 2.000 meter persegi ini dipilih karena kondisinya yang bebas dari pedagang kaki lima (PKL). Ini akan memudahkan pengembangan gedung menjadi pusat komunitas.
Sebagai tempat pertunjukan film, musik, dan teater, bangunan ini berada di lokasi dengan lahan parkir yang memadai. Gedung yang dibangun pada 1920-an ini juga dinilai memiliki akses yang mudah bagi masyarakat.
Ini sesuai dengan keinginan Pemprov DKI Jakarta agar pusat komunitas seni ini mudah dijangkau masyarakat.
“Secara historis kalau dari lihat dari depan juga bagus,” katanya.
Sewa
Dalam hitung-hitungannya, pusat komunitas seni ini dapat beroperasi dalam jangka waktu tiga bulan. Waktu tiga bulan digunakan untuk renovasi bangunan di beberapa bagian, jika komponen sewa dari Pemprov DKI segera turun.
“Untuk komponen sewa selama 20 tahun antara Rp16-20 miliar. Juga untuk renovasi dan infrastruktur,” jelasnya.
Masa sewa bangunan 20 tahun dilakukandimaksudkan agar pusat komunitas ini stabil dan berlangsung jangka panjang, sehingga dapat menghidupkan Kota Tua dan menjadi magnet bagi seniman untuk menghasilkan karya film, musik, dan teater.
Jika masa sewa ditentukan dalam waktu singkat, Lin Che Wei khawatir gedung ini dapat berubah menjadi pertokoan setelah ramai dikunjungi masyarakat.
“Seringkali seniman biasa dipakai untuk menghidupkan suatu daerah. Setelah tempat itu ramai, seniman ini baru ditendang,” lanjutnya.
Pengelolaan pusat pendidikan dan komunitas seni ini nantinya berada di bawah naungan Yayasan Institut Kesenian Jakarta. Meski begitu, tidak hanya mahasiswa IKJ yang dapat memanfaatkan gedung sebagai wadah berkreasi mereka. Masyarakat luas juga dapat memanfaatkannya.
Butuh
Direktur Utama Perum Produksi Film Negara (PFN) Shelvy Arifin mengatakan, gedung sebagai pusat komunitas seni memang menjadi kebutuhan bagi dunia seni, khususnya film. PFN sendiri akan membangun pusat film di daerah Otista Jakarta.
Kami ingin mengembalikan kantor pusat kami menjadi pusat kreatif. Dengan pusat pendidikan dan komunitas seni di Kota Tua, harapannya bisa bersinergi. Membangun aktifitas seni,” katanya.
Jumlah film yang diproduksi selama 2014 naik drastis dibanding tahun sebelumnya. Dari catatannya, selama 2014 ada 120 judul film, dari tahun sebelumnya yang diproduksi rata-rata hanya 90-an judul film.