Bisnis.com, JAKARTA - “I treat food as a religion.” Pernyataan tegas itu meluncur dari bibir George Calombaris, chef kenamaan asal Australia yang baru-baru ini bertandang untuk ketiga kalinya ke Indonesia.
Di sela-sela kesibukannya di Jakarta, dia membagi cerita tentang angan-angan membuka restoran di Tanah Air.
“Bisa saja suatu saat nanti. Tapi, memulai bisnis tidak bisa semudah itu. Anda tidak bisa tiba-tiba datang ke rumah orang, lalu membuka restoran dan sebagainya. Saya datang baik-baik, ingin mengenal kuliner Indonesia dan selera warga di sini,” ujarnya.
Saat ini, George memiliki beberapa restoran terkemuka di Australia. Salah satu bisnisnya, The Press Club, pernah dianugerahi sebagai restoran terbaik versi The Age Good Food Guide pada 2008, sedangkan dirinya didapuk sebagai Chef of the Year pada tahun yang sama.
Selama di Jakarta, Pria kelahiran Melbourne yang saat ini menjadi salah satu juri di “MasterChef Australia” itu mengaku sangat terkesima dengan kuliner Indonesia. Dia menyebut salah satu sajian favoritnya adalah rujak.
Menurutnya, rujak mengandung segala komponen yang dia sukai dari sebuah makanan. Asin, manis, asam, segar, dan renyah. Juru masak dan pebisnis yang doyan mengobrol dan murah senyum itu mengaku rujak sangat pas dengan selera orang Australia.
“Banyak kesamaan dengan selera Australia. Kami suka sesuatu yang fresh, kami suka rasa yang berani, seperti asam atau manis,” jelasnya.
Selain menggemari rujak, George rupanya kagum dengan aneka street foods yang ada di Jakarta. Dia bercerita soal pengalaman wisata kuliner di sebuah warung jalanan yang menjual kepiting masak mentega.
Dengan antusias, bapak dua anak tersebut mengatakan cara mengolah makanan dari juru masak warung kaki lima di Indonesia sangat mencerminkan koneksi yang erat antara koki dengan makanannya.
“Saya melihat bagaimana cara mereka membelah kepiting dan memasaknya dengan saus mentega. Saya saja tidak bisa membelah kepiting seperti itu. Itu adalah bentuk hubungan dengan makanan. It’s priceless.”
Pria yang pernah terdaftar sebagai salah satu chef paling berpengaruh di dunia itu berkata sebagai seorang foodie, dia selalu memperhatikan cara seseorang menyajikan makanan. Atas dasar itu pula, dia melarang kedua buah hatinya mengonsumsi junk food.
Pasalnya, dia berkeyakinan makanan seharusnya disajikan secara utuh. “Teori saya sederhana, makanlah whole food. Itu saja. Makanan utuh mempromosikan cita rasa khas lokal Anda. Oleh sebab itu, saya tidak mengizinkan anak-anak saya makan makanan olahan.”
Prinsip tersebut rupaya diwariskan dari ibu dan neneknya. Sejak kecil, George mengaku jatuh cinta dengan masakan ibu dan neneknya yang diolah dengan penuh ketulusan. Baginya, masakan rumahan dari tangan ibunya adalah yang terenak di dunia.
Kedua wanita istimewa itu pula yang menginspirasinya untuk menjadi seorang chef. Bahkan di usianya yang mendekati setengah dekade, George masih ketagihan dengan masakan ibunya.
Tak jarang, dia mengajak para juru masak di restorannya untuk turut mencicipi sajian buah tangan Sang Bunda. “Rasanya sangat enak. It’s a homey and humble food. Saya ingin para chef saya untuk bisa merasakan pengalaman yang saya rasakan.”
Suami Natalie Tricarico itu juga tak lupa berbagi tips agar masakan khas Nusantara dapat mendunia. Dia mengaku sangat menyayangkan warga Indonesia yang belum terlalu menyadari pentingnya berpegang teguh pada cita rasa tradisional.
Menurut pria berdarah Yunani itu, Indonesia memiliki satu hal yang tidak dimiliki kuliner Australia, yaitu kekayaan warisan tradisional. Baginya, nilai tambah itulah yang harus ditonjolkan dalam setiap promosi kuliner.
“Di Australia tidak ada hal-hal semacam itu. Tapi kenapa masakan saya bisa dikenal? Karena saya memastikan masakan saya adalah otentik Australia, setiap bahan yang saya gunakan adalah produk lokal. Kuncinya adalah berpegang pada keragaman tradisi.”
Apa yang dicari konsumen di luar negeri, lanjutnya, adalah pengalaman menyantap hidangan dengan suasana dan penyajian yang khas. Semakin menonjolkan kekhasan nilai-nilai lokal, semakin berharga pengalaman berkuliner yang didapatkan.
Pada kesempatan yang sama, George pun membagi kesan-kesannya selama di Indonesia. Baginya, kemacetan di Jakarta sudah tidak bisa ditoleransi. Namun, dia mencintai masakan pedas yang ditonjolkan sajian-sajian Nusantara.
“Selama saya [di Jakarta], saya selalu berkeringat. Sangat sibuk di sini. Ada semacam ‘controlled chaos’ di Jakarta. Tapi saya suka, karena mirip dengan dapur saya. Ada energi yang serupa dengan dapur saya. Semua orang sangat hangat dan terbuka.” (Wike D. Herlinda)
George Dimitrios Calombaris
Kelahiran : Melbourne, 4 Oktober 1978
Pendidikan : Mazenod College high school di Mulgrave, Box Hill Institute of TAFE
Karir dan prestasi :
- Perwakilan terbaik Australia sepanjang sejarah di Bocuse d’Or culinary grand prix, Lyon, Prancis
- Bekerja dua tahun di Reserve, Melbourne’s Federation Square
- Memenangkan Young Chef of the Year pada usia 24
- Memenangkan Best New Restaurant dan dua topi chef dari The Age Good Food Guide
- Masuk daftar 40 chef paling berpengaruh di dunia versi Global Food and Wine Magazine 2004
- Membuka restoran pertama The Press Club di Melbourne pada 2006, didesain oleh arsitek ternama Mills Gorman
- Membuka dua restoran lagi Maha Bar and Grill dan Hellenic Republic pada 2008
- Membuka restoran internasional pertama The Belvedere Club di Myokos, Yunani pada 2008
- Membuka restoran P M 24 pada 2010, berkolaborasi dengan legenda kuliner Philippe Mouchel
- Membuka restoran St Katherine’s in Kew pada 2011
- Membuka restoran Mama Baba di South Yarra pada 2012
- Berencana membuka restoran Yunani di Sydney akhir 2015 atau awal 2016