Bisnis.com, JAKARTA -- Berbicara mengenai film Indonesia sepertinya tidak akan kunjung menemukan titik. Perubahan zaman, modernisasi, dan kecanggihan teknologi berpenga-ruh kuat pada kualitas dan kuantitas produksi, dari gambar bergerak ini.
Masih segar dalam ingatan kritikus film Salim Said, saat ketua dewan juri Festival Film Indonesia (FFI) 1990 Rosihan Anwar dengan tegas mendedahkan pandangannya mengenai film Nasional.
Dalam buku Salim Said berjudul Pantulan Layar Putih dijelaskan bahwa Rosihan menilai film Indonesia tidak memperlihatkan kesegaran penyajian, melainkan hanya kerja rutin yang mengulang hal yang sama.
Film Nasional hanya merangkaikan adegan yang tiada sangkutan dengan alur cerita, dan banyak tergoda dengan bumbu-bumbu komersial dan iklan yang merusak struktur. Pernyataan yang dibuat oleh Ketua FFI 1990 itu terbukti masih relevan dengan kondisi sekarang ini.
Saat ini, produksi film nasional terus meningkat signifikan. Peningkatan tidak hanya dari sisi jumlah film yang diproduksi tetapi juga kualitas film. Namun, di tengah keriuhan film nasional, ternyata masih terselip tantangan besar yakni menumbuhkan produksi film bergenre anak-anak.
Jika dicermati, film genre ini, tidak benar-benar menjadi tontonan anak-anak. Masih muncul dalam pandangan khalayak bahwa film anak adalah film yang dapat ditonton untuk semua umur. Padahal, film untuk semua umur banyak yang masuk dalam kategori film keluarga, dan bukan film khusus untuk anak-anak.
Dilihat dari segmentasinya, film anak-anak patut mendapatkan perhatian lebih. Mengingat film adalah medium yang sangat efektif untuk menanamkan sikap patriotisme, pemahaman tentang apresiasi kebudayaan, dan berprilaku positif kepada anak sejak dini.
Seperti genre lainnya, film anak-anak melewati pasang surut yang tidak mudah. Di era 1950-an, para moviegoers mencatat film Indonesia pertama dengan genre anak-anak adalah Si Pintjang.
Film yang diproduksi oleh Perusahaan Film Negara (PFN) pada 1951 ini, melibatkan pelakon Marlia Hardi yang pada era 1970-1980an. Marlia yang dikenal sebagai tokoh utama sandiwara televisi Keluarga Marlia Hardi, dan film Titian Serambut Dibelah Tujuh cukup luwes bermain di bawah arahan sutradara, dan penulis skenario adalah Kotot Sukardi.
Berbekal kamera merek Mitchell BNS buatan Amerika Serikat, film berdurasi 67 menit ini cukup mampu menarik perhatian pecinta film saat itu. Produksi film ini kemudian disusul dengan beberapa produksi film anak-anak, salah satunya Djendral Kantjil (1958). Film ini berjasa melambungkan nama vokalis kugiran Godbless, Achmad Albar sebagai bintang cilik.
Produksi film anak pada 1960-an menyurut, linier dengan gejolak politik pada masa itu. Tercatat hanya satu film anak yang muncul pada saat itu yakni Bintang Ketjil (1963).
Dunia perfilman mulai bergairah di era 1970-an. Pada era ini, muncul film anak yang didominasi cerita komedi yang digawangi oleh Bing Slamet, Benyamin S., dan grup lawak Kwartet Jaya yang digawangi oleh Ateng, Iskak, dan Eddy Sud.
Dua judul film anak yang sempat merebut perhatian penonton adalah Si Doel Anak Betawi (1973), dan Ratapan Anak Tiri. Pada era ini sederet bintang film anak bermun-culan seperti Chica Koeswoyo, Ira Maya Sopha, Atri Ivo, Yoan Tanamal, Rano Karno, dan Adi Bing Slamet.
PASANG SURUT
Genre film anak kembali menyusut di era 1980-an hingga 1990-an. Genre film anak mengikuti genre film lainnya yang kalah pamor dengan film-film dewasa yang menonjolkan adegan erotis.
Di penghujung 1999, film genre anak mulai bangkit. Dimulai dengan kesuksesan Petualangan Sherina (1999), yang diikuti Joshua Oh, Joshua (2000). Dari kesukesan Petualangan Sherina, mulai banyak produser yang membuat film genre anak-anak.
Namun, kekuatan pasar yang ditaksir dari jumlah penonton yang hadir dan menonton film di gedung bioskop tetap menjadi raja di industri perfilman. Banyaknya film genre anak yang sebenarnya tidak murni film anak-anak disambut dengan kosongnya bangku-bangku penonton. Akibatnya, banyak film anak-anak yang cepat turun layar.
Sutradara Riri Riza yang sukses menggarap Petualangan Sherina mengakui film yang diklaim bergenre anak masih belum murni tontonan anak. “Analisis saya kenapa sampai sekarang film anak jarang diputar, karena bekerjasama dengan anak-anak dan dewasa adalah dua hal yang sangat berbeda,” ujarnya.
Riri mengatakan tiga hal yang harus diperhatikan dalam memproduksi film anak. Pertama, dalam menulis cerita tentang anak harus mempertimbangkan banyak hal, seperti makna cerita dan edukasi yang harus dapat dipetik secara sederhana oleh anak-anak.
Kedua, pola komunikasi yang dijalin dalam proses produksi juga harus berbeda. Bahkan, lingkungan dan jam gerak anak juga memiliki pola yang teratur tidak seperti dewasa. Jadi kru dan pemain lain harus banyak yang menyesuaikan. Ketiga, kendala waktu penayangan.
Sineas biasanya hanya memiliki waktu untuk penayangan film anak saat musim libur tiba. Selebihnya anak-anak zaman sekarang terlalu disibukan dengan kegiatan sekolah, sedangkan akhir pekan adalah saat yang tepat istirahat di rumah.
Riri menyatakan film anak yang baik adalah yang mampu menam-pilkan sesuatu yang dekat dan tepat baik dari segi cerita atau tokoh. Sutradara Joko Anwar menam-bahkan kurang populernya film genre anak-anak karena sempitnya wawasan wawasan sutradara, penulis skenario, dan produser menambah kurang populernya film anak di Indonesia.
Dia menilai keberadaan film karya sineas nonprofessional justru lebih bagus dibandingkan sineas profesional. Dari sisi kualitas, tema, dan ide kreatif jauh melampaui sineas profesional.
“Film-film yang dikerjakan sineas profesional tidak memiliki keberagaman tema. Film yang dihasilkan pun kualitasnya menyedihkan, seperti dibuat ala kadarnya untuk tayang di bioskop. Akhirnya, banyak orang yang kapok menonton film Indonesia, tidak terkecuali film Indonesia bergenre anak-anak,” jelasnya.
Produser Film dari Mizan Putut Widjanarko menuturkan sineas perlu jeli melihat peluang untuk memak-simalkan jumlah penonton. Salah satunya dengan memanfaatkan ruang promosi yang dekat dengan anak seperti via gadget. (WIKE D. HERLINDA, I PAK AYU H NURCAYA, & DIENA LESTARI)