Siapa sangka, makan malam bersama keluarga dapat menjadi indikator kontekstual yang memengaruhi kesehatan psikologis anak. /molto.co.id
Health

Cara Sederhana Mengobati Depresi Anak Akibat Cyberbullying

Wike Dita Herlinda
Minggu, 31 Januari 2016 - 01:40
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Kekerasan di dunia maya alias cyberbullying dapat menimpa siapa saja. Tren negatif yang merebak pada era digital itu telah menggerakkan hati banyak orang untuk memulai kampanye antikekerasan di media dalam jaringan (daring).

Apalagi, cyberbullying sangat rentan terjadi pada anak-anak dan remaja yang kondisi psikologisnya masih relatif labil. Sama seperti bullying secara fisik, kekerasan di dunia maya dapat menciderai kesehatan mental anak dan memicu penggunaan obat terlarang pada remaja.

Apabila seorang anak terlanjur menjadi korban kekerasan di dunia daring dan mulai menunjukkan gejala-gejala depresi, pihak keluarga harus menjadi basis utama dalam proses penyembuhan mental sang anak.

Untuk itu, dibutuhkan keterbukaan antara anak-anak dan orang tua. Ortu harus peka dengan permasalahan yang dihadapi buah hatinya, demikian pula anak harus lebih sering membuka komunikasi dengan orang tua untuk melindungi diri dari risiko bullying.

Riset dari McGill University di Montreal, Kanada mengungkapkan kunci dari penyembuhan psikologis anak-anak korban cyberbullying adalah makan malam bersama keluarga secara rutin. Sebuah kegiatan yang banyak terabaikan oleh keluarga-keluarga modern.

Selain kebiasaan membangun kehangatan keluarga melalui makan malam bersama, hal lain yang bisa dilakukan adalah mengobrol ‘empat mata’ dari hati-ke-hati antara anak dan ortu. Misalnya, di mobil saat ortu mengantar anak ke sekolah.

“Asal tahu saja, dampak dari cyberbullying jauh lebih kejam dibandingkan dengan bullying di dunia nyata, sebab sangat susah untuk mendeteksinya,” kata Frank J. Elgar dari Institute for Health and Social Policy McGill University, seperti dilansir Reuters.

Dalam kasus cyberbullying guru dan orang tua anak biasanya lebih sulit terlibat. Frank pun melakukan survei acak terhadap lebih dari 18.000 remaja di 49 sekolah di Wisconsin. Ternyata, 1 dari 5 remaja mengaku mengalami bullying melalui internet atau SMS.

“Kabar baiknya, sebagian besar murid yang menjadi sampel riset di Wisconsin belum pernah menjadi korban cyberbullying. Namun, kebanyakan dari mereka yang menjadi korban maupun pelaku cyberbullying adalah remaja perempuan,” paparnya.

Ironisnya, kasus perilaku kekerasan di dunia maya akan semakin memburuk bersamaan dengan bertambahnya usia si pelaku. Akibatnya, remaja yang menjadi korban mengalami gangguan kejiwaan yang tidak cepat disadari oleh orang dewasa di sekitarnya.

Contoh gangguan mental akibat cyberbullying yang umum terjadi a.l. kecemasan (anxiety), melukai diri sendiri, terus memikirkan keinginan bunuh diri, berkelahi, bersikap vandal, dan bermasalah dengan candu narkotika (substance abuse).

Sekitar 20% korban cyberbullying mengaku mengalami depresi berat, sedangkan 5% lainnya mengungkapkan keinginan untuk mengakhiri hidup mereka atau menyalahgunakan obat-obatan keras yang hanya boleh digunakan melalui resep dokter.

Menurut Frank, anak-anak yang menjadi sasaran cyberbullying lebih dari dua kali memiliki kecenderungan suka mabuk-mabukan, berkelahi, merusak barang-barang publik, ingin bunuh diri, dan empat kali lipat lebih rentan kecanduan narkoba.

Dalam survei yang sama, Frank menanyakan seberapa sering anak-anak tersebut makan malam bersama keluarga dalam sepekan. Jawabannya pun bervariasi.

Namun, anak-anak yang menghabiskan jam makan malam bersama keluarga lebih sering ternyata lebih cenderung mampu mengatasi tekanan psikologis akibat cyberbullying. Semakin sering momen menghabiskan momen bersama keluarga, risiko itu semakin berkurang.

“Sekarang ini, sangat susah bagi orang tua untuk terus memantau berapa banyak waktu yang dihabiskan buah hatinya untuk bermain ponsel pintar, laptop, atau gadget lain,” kata Catherine P. Bradshaw dari Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health di Baltimore.

Catherine menambahkan meskipun dirinya tidak tahu pasti apa saja yang menjadi bahan obrolan anak dan orang tuanya selama makan malam, tapi menghabiskan waktu tatap muka lebih sering memungkinkan ortu untuk bisa terus memonitor perkembangan anak.

“Orang tua yang mengambil kesempatan untuk membicarakan masalah bullying yang diderita anaknya harus menegaskan kepada buah hatinya bahwa kekerasan di dunia maya itu terjadi bukan karena korban, sehingga tidak ada gunanya membalas dendam,” lanjutnya.

Semakin sering kontak dan komunikasi yang terjalin antara ortu dan anak remajanya, semakin mudah bagi anak-anak untuk mengekspresikan permasalahan mereka dan mendiskusikan strategi yang tepat untuk menyelesaikannya.

Siapa sangka, makan malam bersama keluarga dapat menjadi indikator kontekstual yang memengaruhi kesehatan psikologis anak. Banyak keluarga yang tidak mementingkan atau malah meninggalkan kebiasaan makan malam bersama.

“Meskipun demikian, bukan berarti ortu tetap tidak bisa terbuka terhadap anak. Memantau perkembangan anak bukan semata-mata soal seberapa sering makan malam bersama, tapi pesan apa yang disampaikan kepada anak.”

Jika ortu tidak pernah menyempatkan diri menghabiskan waktu dengan anak, bagaimana mereka tahu apa yang dialami buah hati mereka. Jangan menunggu sampai terjadi satu lagi kasus bunuh diri seorang remaja korban cyberbullying.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fatkhul Maskur
Sumber : Bisnis Indonesia, Mingg (31/1/2016)
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro