Bisnis.com, JAKARTA- Tahukah Anda, ternyata orang dewasa yang hidup di dalam lingkungan rumah tangga yang berkekurangan dan tidak mampu mengakses makanan bergizi secara memadai berisiko dua kali lebih tinggi memiliki anak-anak dengan masalah kestabilan emosional dan kejiwaan.
Satu studi yang dihelat Elizabeth Poole-Di Salvo dari Weil Cornell Medical Center di New York menemukan fakta bahwa kekurangan pangan sehat dalam satu keluarga berimplikasi terhadap risiko gangguan kesehatan mental, baik pada orang tua maupun anak-anak.
""Berdasarkan data terbaru yang kami himpun, krisis pangan memengaruhi hampir 20% rumah tangga di Amerika Serikat, yang memiliki anak-anak di bawah usia 18 tahun," katanya, seperti dilansir Reuters.
Elizabeth menggunakan data dari hasil sebuah riset pada 2007 terhadap 8.600 anak pada rentang usia 12-16 tahun. Dalam studi tersebut, dia menghubungi orang tuaterutama ibudari anak-anak itu per telepon.
Para orang tua tersebut menjawab berbagai pertanyaan seputar kesulitan keuangan, kendala mendapatkan pangan bergizi selama 12 bulan terakhir, dan analisis gejala emosional dari anak-anak mereka.
Ternyata, sebagian besar anak-anak itu mengalami gangguan emosional, seperti hiperaktif, merasa tertekan saat berada dalam kelompok sosial (peer problem), dan merasa minder atau sulit bersosialisasi.
Berdasarkan data dari Academic Pediatrics, 10% anak-anak dari sampel penelitian tersebut hidup di tengah kondisi kekurangan pangan. Sementara itu, 11% lainnya terindikasi memiliki orang tua dengan gejala gangguan kesehatan mental.
Ada banyak indikator yang menghubungkan faktor kekurangan pangan dengan risiko gangguan mental pada anak. Beberapa diantaranya a.l. status kemiskinan, pendapatan rumah tangga di bawah garis kemiskinan, dan orang tua yang tidak menikah.
Indikator lainnya adalah perbedaan kelas dalam pergaulan remaja, rendahnya tingkat pendidikan yang dienyam orang tua, buruknya kesehatan orang tua, depresi orang tua, serta lingkungan tetangga dan sekolah yang tidak aman.
Elizbeth menjelaskan dengan menggunakan indikator-indikator tersebut, dia menemukan bahwa anak-anak yang tidak tercukupi gizinya berisiko 2,3 kali lebih tinggi mengalami gangguan kejiwaan, jika dibandingkan dengan anak-anak dengan gizi cukup.
Hampir 29% remaja kurang gizi mengalami gangguan mental, dibandingkan dengan 9% anak lainnya. Pola ini mencakup berbagai gejala gangguan mental, misalnya 26% anak mengalami masalah emosional dibandingkan 11% anak lainnya, terangnya.
Lebih lanjut, 22% dari anak kurang gizi bermasalah dengan sifat hiperaktif dibandingkan dengan 11% anak lainnya, dan 20% anak kurang gizi bermasalah dengan pergaulan sosialnya, dibandingkan dengan 9% anak lainnya.
Faktanya, meskipun anak-anak tersebut dididik di sekolah gratisyang seharusnya mengurangi beban pengeluaran orang tuanyahal tersebut tidak berdampak terhadap kesehatan mental mereka.
""Kami mencurigai bahwa gangguan mental akibat kekurangan gizi tersebut terjadi selama periode remaja, di mana pertumbuhan dan perkembangan anak-anak lebih cepat. Nutrisi yang tak mencukup akan meningkatkan risiko stres psikologis bagi remaja tersebut, dan berujung pada gangguan mental."
Sementara itu, Ruth E.K. Stein dari Albert Einstein College of Medicine menambahkan remaha yang bermasalah dengan kurang gizi dapat merasakan stres berat dan kegelisahan akan rasa lapar akibat kurangnya nutrisi yang dibutuhkan.
Identifikasi dini terhadap faktor risiko kurang gizi dan gangguan mental sangatlah penting. Selain itu, para ahli gizi harus menjadi instrumen untuk menghubungkan keluarga yang kurang beruntung tersebut terhadap sumber daya yang ada di lingkungan mereka.
Hasil studi yang dihelat di Amerika tersebut setidaknya dapat menjadi refleksi bagi banyak keluarga di Indonesia, yang masih di bawah garis kemiskinan dan dirongrong kelaparan. Apalagi, masih banyak kasus busung lapar yang terjadi di dalam negerii.
Jika pemerintah hendak menggalakkan program revolusi mental dengan baik, ada baiknya dimulai dengan pemenuhan hak anak untuk mendapatkan gizi yang cukup bagi tumbuh kembang kesehatan psikologis mereka.