Bisnis.com, JAKARTA - Kekerasan verbal atau nonfisik (verbal bullying) dianggap paling membahayakan dan memiliki dampak mematikan dibandingkan dengan bentuk kekerasan lainnya karena menyerang psikologi korban.
Psikolog Klinis dan Hipnoterapis dari Sanatorium Dharmawangsa Liza Marielly Djaprie mengatakan verbal bullying biasanya berupa ucapan yang menyakitkan dari satu orang atau sekelompok orang terhadap satu orang lainnya.
Pembulian tersebut bisa berupa olokan yang diucapkan secara berulang-ulang dan dilakukan dengan sengaja atau direncanakan. “Pembulian secara verbal tidak tampak bekas lukanya. Namun, efek dari olokan itu sangat membahayakan dan mematikan bagi korban,” ujarnya.
Dia menjelaskan ada beberapa kategori kekerasan yang biasa dilakukan kepada orang lain, yakni physic bullying, verbal bullying, financial bullying, sexual bullying, prejudicial bullying, dan cyber bullying.
“Dampak verbal bullying hampir sama dengan cyber bullying. Mereka terkadang overlapping. Verbal berupa ucapan dan cyber berupa serangan melalui tulisan di media sosial,” katanya.
Kedua bentuk pembulian verbal maupun cyber, jelasnya, memang tidak terlihat bekasnya seperti mimisan ataupun memar-memar di badan. Namun, kejahatan ucapan dan serangan tulisan mampu menikam psikis atau kesehatan mental. Akibatnya, si korban akan mengalami penurunan kepercayaan diri, menyakiti diri sendiri hingga menyebabkan gejala fisik seperti sakit kepala, migrain dan tekanan darah tinggi.
“Tingkat akhirnya yaitu si korban tak segan mencoba bunuh diri.” Adapun, karakter anak yang berpotensi menjadi korban bullying adalah mereka yang pendiam, tidak banyak teman, dan suka menyendiri. Pelaku bullying memang tidak akan asal dalam memilih korban, dan anak yang pendiam sangat rentan menjadi korban.
TERSANGKA BULLYING
Liza menjelaskan anak yang berpotensi sebagai tersangka bullying tidak lain adalah anak yang memiliki tingkat kesibukan yang sangat tinggi. Pelaku bullying biasanya adalah anak-anak yang waktu belajarnya tidak seimbang dengan waktu bermain. Pasalnya, anak yang terlalu sibuk dengan aktivitas akademis cenderung memiliki tingkat stres yang tinggi dan tekanan yang besar.
Oleh karena itu, sang anak akan melampiaskan stres dengan cara mem-bully rekannya. Menurut dia, dewasa ini anak-anak yang duduk di tingkatan sekolah dasar memiliki jam belajar yang tidak normal. Banyak orangtua menyekolahkan anaknya yang berumur 7 tahun-13 tahun di sekolah full day. Dengan kata lain, si anak menimba ilmu dari pukul tujuh pagi hingga empat sore.
“Belum lagi, si anak ikut les pelajaran di jam pulang sekolah dan les lainnya di malam hari. Mana hak anak untuk bermain,” ujarnya. Padahal, lanjutnya, anak setingkat SD harus memiliki jam bermain yang cukup untuk mengimbangi jam belajar yang lumayan menyita pikiran dan tenaga. Ketika anak bermain, mereka juga otomatis belajar tentang kehidupaan sosial dan bagaimana mereka bertoleransi kepada sesama.
“Jika anak kurang memiliki waktu bermain lepas, pelampiasaanya bisa menyiksa orang lain atau melakukan tindakan bullying,” paparnya. Dengan mem-bully orang lain, jelasnya, si pelaku akan merasa mendapatkan hiburan tersendiri.
Berdasarkan data Unicef 2014, terdapat 50% anak yang melaporkan mengalami bullying di sekolah. Hal tersebut seringkali menurunkan minat dan prestasi anak di sekolah. Tak jarang, beberapa di antaranya sering membolos, pindah sekolah hingga drop-out.