Sakit Jiwa.
Health

Menyoal Kebiasaan Memasung 'Orang Gila' di Indonesia

Wike Dita Herlinda
Sabtu, 9 April 2016 - 21:50
Bagikan

Kabar24.com, JAKARTA - Tidak ada orang yang ingin terlahir dengan gangguan kejiwaan, atau memiliki keluarga inti yang menderita penyakit tersebut. Namun, bukan berarti penderita gangguan jiwa layak menerima perlakuan tidak adil yang melanggar hak azasi manusia.

Salah satu bentuk perlakuan tidak adil tersebut adalah mengikat penderita dengan pasung dan melarangnya bersosialisasi dengan masyarakat. Sayangnya, praktik memasung penderita gangguan jiwa di Indonesia sampai sekarang masih lazim terjadi di berbagai daerah.

Ada banyak alasan mengapa praktik pasung masih marak di daerah. Termasuk di antaranya adalah keluarga yang merasa malu memiliki anak atau orang tua yang menderita gangguan jiwa.

Hal itu pula yang dirasakan oleh petani beras di daerah Serang, Banten bernama Usman. Dia tega memasung anak lelakinya yang berusia 19 tahun selama lebih dari sebulan terakhir karena mengalami gangguan jiwa.

Usman khawatir anaknya itu berkeliaran dan mencuri ternak warga. Dia suka mencuri pakaian dan kerbau warga. Kami yang dipermalukan atas ulahnya itu, jadi lebih baik kami merantainya agar tidak mengganggu tetangga, ujarnya, sebagaimana dilaporkan Reuters.

Putra Usman tersebut hanyalah satu dari hampir 20.000 warga Indonesia yang menderita gangguan jiwa dan dipasung oleh keluarganya sendiri maupun oleh institusi pemerintah. Padahal, Presiden Joko Widodo telah menetapkan praktik tersebut sebagai tindakan ilegal.

Pada kasus yang menimpa anak Usman, pihak keluarga mengizinkan dokter melakukan pengecekan rutin setiap dua pekan sekali. Namun, dia menolak membebaskan anaknya sampai kondisi kejiwaannya dinilai lebih stabil.

Sebuah laporan dari Human Rights Watch juga memaparkan nasib yang dialami Jumiya, perempuan 28 tahun yang tinggal di Dusun Jambu. Jumiya dipasung oleh keluarganya selama lebih dari 4 tahun karena mengalami gangguan mental sepulang bekerja dari Suriah.

Banyak penderita yang dikurung, dirantai, atau dipasung di kadang ternak karena keluarganya tidak tahu harus berbuat apa. Mirisnya, pemerintah juga tidak menawarkan alternatif yang lebih manusiawi, papar Kriti Sharma dalam laporan tersebut.

Menurut Human Rights Watch, praktik memasung penderita gangguan jiwa di Indonesia kerap kali dikaitkan dengan hal-hal mistis. Banyak keluarga yang menganggap depresi atauschizophreniasebagai buah dari ilmu hitam, kutukan, maupun roh jahat.

Oleh karena itu, pemerintah seharusnya berperan lebih serius untuk mendidik masyarakatnya mengenai penanganan terhadap penderita gangguan jiwa. Salah satunya adalah melalui pelatihan layanan kesehatan maupun memperluas perlindungan terhadap pasien.

Apalagi, berdasarkan fakta yang terkumpul di lapangan, banyak korban pemasungan yang bahkan tidak menyadari mengapa mereka diperlakukan seperti demikian. Itulah yang dirasakan oleh warga Serang bernama Deden.

Tangannya dirantai di pohon oleh ayahnya selama beberapa waktu tanpa tahu apa alasannya. Mungkin karena saya membuat masalah, ujarnya kepada Reuters.

Terkait masih jamaknya praktik pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa oleh keluarganya sendiri, pemerintah berjanji akan menuntaskan masalah tersebut pada akhir 2017.

Program yang baru dicandangkan tahun ini tersebut melibatkan banyak kelompok kerja yang dikirm ke berbagai pelosok Tanah Air untuk membebaskan pasien yang dipasung oleh keluarganya, serta memastikan mereka mendapatkan layanan medis yang layak.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menjelaskan pemerintah sebenarnya sudah menetapkan pelarangan pemasungan sejak empat dekade lalu. Namun, praktik tersebut terus dilakukan, terutama di wilayah-wilayah miskin di Indonesia.

Kami menyadari bahwa kasus pemasungan tersebut masih banyak terjadi di berbagai daerah. Oleh karena itu, kami bertekad untu kmengakhiri praktik pasung pada Desember 2017, jelasnya.

Bagaimanapun, memasung penderita gangguan jiwa terbukti tidak dapat membantu proses penyembuhannya. Keluarga yang seharusnya mendukung, tidak seharusnya semakin memperburuk kondisi pasien dengan melarangnya bergaul.

Sudah saatnya negara ini dididik untuk memperlakukan penderita gangguan mental secara lebih manusiawi, dan bukan menganggap mereka sebagai pembawa sial di dalam keluarga. Mudah-mudahan target pemerintah pada akhir 2017 tersebut dapat tercapai.

Editor : Fatkhul Maskur
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro