Donasi/ilustrasi
Relationship

Berbisnis Donasi Untuk Saling Berbagi

Rezza Aji Pratama
Selasa, 19 Juli 2016 - 09:49
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA- Moyang Kasih Dewi Merdeka tidak pernah menaruh harapan besar saat memulai kampanye pengumpulan dana untuk sahabatnya. Dia hanya ingin membantu Shahnaz Asnawi Yusuf, kawan karibnya yang kini terdiagnosis mengalami penyakit autoimun.

Belum sampai sepekan setelah Moyang menggalang kampanye di situs crowdfunding kitabisa.com, donasi tidak berhanti mengalir. “Hasilnya di luar ekspektasi banget. Target awal hanya Rp50 juta dan itu pun saya ragu bisa tercapai. Ternyata dalam 3 hari sudah lebih dari 50% target dana terkumpul,” ujarnya memulai cerita.

Kini, sebanyak Rp43 juta donasi sudah terkumpul untuk membantu Shahnaz.

Sebelum memanfaatkan situs crowdfunding tersebut, fundrising sebatas dilakukan kepada orang-orang terdekat. Moyang menceritakan hasilnya saat itu sebenarnya tidak terlalu mengecewakan. Namun, dia menyadari dibutuhkan sumber dana yang lebih besar untuk membantu pengobatan sahabatnya tersebut.

Penyakit yang diderita Shahnaz memang bukan sembarangan. Sejak empat bulan lalu, wanita asal Medan ini mengeluhkan kondisi tubuhnya yang sering terasa lemas. Awalnya tenaga medis kesulitan mendiagnosis penyakitnya. Namun, setelah bertemu dengan beberapa dokter spesialis Shahnaz dipastikan mengidap beberapa penyakit. Lupus dan pneumonia adalah diantaranya.

Kebutuhan dana pengobatan kian membengkak karena Shahnaz harus melakukan serangkaian tes laboratorium. Rupiah demi rupiah harus digelontorkan untuk mencari tahu penyakitnya. Hal inilah yang mendorong Moyang melakukan kampanye penggalangan dana di media sosial.

Shahnaz hanyalah satu dari sekian banyak cerita manis kampanye penggalangan dana di dunia maya. Jika mengunjungi situs kitabisa.com, ada berbagai jenis fundrising yang dilakukan. Ai Nurhidayat misalnya, melakukan kampanye penggalangan dana untuk membangun sekolah multikultural pertama di Kabupaten Pangandaran. Kini, total dana yang berhasil dikumpulkan sudah mencapai Rp33 juta.

Profit oriented

Situs crowdfunding semacam ini memang sedang menjamur baik di dalam maupun di luar negeri. Alfatih Timur, CEO Kitabisa, menuturkan tren pertumbuhan situs yang menyediakan jasa donasi online semacam ini menunjukkan tanda positif. Potensinya juga dipercaya akan semakin besar di masa depan. “Crowdfunding ini sebenarnya tahap lanjut dari e-commerce, sedangkan kita tahu tren jual beli online di Indonesia sudah seperti apa,” katanya saat dihubungi Bisnis, Kamis (14/7).

Meskipun membantu penggalangan dana untuk aksi sosial, situs crowdfunding sebenarnya bukanlah lembaga amal atau non-profit. Bagi Timi—sapaan akrabnya—kitabisa.com berorientasi pada laba dan pengembangan bisnis. Maka jangan heran jika situs ini mematok biaya administrasi untuk setiap aksi penggalangan dana. Situs ini pun sudah mendirikan perseroan terbatas (PT) untuk menaungi bisnisnya.

Timi menuturkan rata-rata biaya administrasi ditetapkan sebesar 5% dari total donasi yang diperoleh. Khusus untuk kampanye medical emergency seperti kasus Shahnaz, kitabisa.com hanya mematok 2,5%. Adapun penggalangan dana untuk bencana alam tidak dipungut biaya alias gratis. “Admin fee 5% itu standar minimal yang diterapkan situs crowdfunding di seluruh dunia,” katanya.

Berbekal pungutan biaya administrasi inilah Timi dan 13 orang lainnya menjalankan situs crowdfunding tersebut. Kini, kitabisa.com sudah mengumpulkan donasi hingga Rp26 miliar untuk 1.780 kampanye di berbagai bidang. Dengan asumsi potongan biaya 5%, artinyakitabisa.com sudah mengantongi pendapatan hingga Rp1,3 miliar.

Bisnis donasi semacam ini sebenarnya lumrah di seluruh dunia. Sosial entrepeneurship adalah istilah yang sering digunakan untuk model bisnis semacam ini. Berkat bisnis donasi inilah majalah Forbes menempatkan Timi sebagai satu dari 30 pemimpin paling menjanjikan di Asia, dengan usia di bawah 30 tahun untuk kategori social entrepeneurship.

Kendati sama-sama mengumpulkan donasi, Dompet Dhuafa memiliki pendekatan yang berbeda. Yuli Pujihardi, Direktur Dompet Dhuafa Publika, menuturkan pihaknya memang memberlakukan potongan sebesar 12,% untuk zakat yang disalurkan. Namun, khusus untuk kampanye penggalangan dana lainnya pihak Dompet Dhuafa tidak membebankan biaya administrasi sepeserpun.

“Dalam Islam kami sebagai amil zakat memang memiliki hak untuk menerima zakat. Dana itulah kami gunakan sebagai operasional, selain tentu dari sumber lain seperti pendapatan iklan,” katanya kepada Bisnis, Kamis (14/7).

Selain menyalurkan donasi, Dompet Dhuafa biasanya juga melakukan pendampingan. Pria yang akrab disapa Puji ini mencontohkan, jika donasi yang terkumpul mencapai Rp50 juta sedangkan kebutuhan pengobatan hanya Rp25 juta maka pihaknya akan menawarkan solusi lain kepada pihak penerima. Sisa donasi ini bisa saja digunakan untuk memulai usaha oleh pihak penerima dengan pendampingan dari Dompet Dhuafa.

Menurut Puji, memang harus dibedakan antara penyalur donasi yang berbentuk yayasan dan perseroan terbatas (PT). Yayasan biasanya murni berorientasi pada aksi sosial sehingga tidak mematok biaya tertentu. Sebaliknya, penyalur donasi berbentuk PT berorientasi pada keberlangsungan usaha sehingga mencari keuntungan.

Seiring dengan tren donasi online yang kian berkembang, Puji menyarankan pemerintah memberikan kepastian hukum. Hal ini sangat penting untuk menjaga kepercayaan donator terhadap sistem donasi tersebut. “Penting untuk diatur berapa besar standar biaya admin untuk situs crowdfunding ini,” tambahnya.

Di sisi lain, pemerintah sebenarnya sudah memiliki instrumen hukum untuk mengatur pelaksanaan donasi. Hartono Laras, Dirjen Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Kementerian Sosial, menuturkan saat ini perangkat hukum yang digunakan adalah UU No.9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang dan Barang. Namun, undang-undang ini tidak memberikan panduan soal donasi online, situs crowdfunding, atau besaran biaya administrasi.

Hartono menambahkan pada dasarnya suatu lembaga memang diperbolehkan mengenakan biaya adiministrasi untuk keperluan operasional. Namun, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi syarat utama. “Jadi bukan hanya jumlah donasi yang dilaporkan tetapi juga penggunaan dananya termasuk juga untuk apa biaya administrasi tersebut,” paparnya saat dihubungi Bisnis, Kamis (14/7).

Bagi sebagian orang, bisnis donasi semacam ini merupakan hal yang sumir. Tidak sedikit donator yang justru mempertanyakan soal penetapan biaya administrasi di situs crowdfunding. Moyang adalah salah satunya. “Saya sebenarnya tidak masalah dengan potongan tersebut, tetapi sebaiknya tidak dari berdasarkan dana yang terkumpul. Bisa saja dipotong dari donatur langsung saat memberikan sumbangan,” tutupnya.

Sosial entrepenership mungkin masih terasa janggal di telinga banyak orang. Namun, harus diakui tren bisnis donasi online inilah yang membantu Shahnaz dan banyak survivor lainnya menatap masa depan.

Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro