Bisnis.com, JAKARTA - Banyak cara yang dilakukan untuk memperkenalkan suatu daerah, bisa lewat kuliner, seni budaya, atau produk cenderamata. Umar Ahmad, misalnya, menempuh cara yang berbeda, yakni melalui karya sastra.
Pernah mendengar nama Tulang Bawang Barat (Tubaba)? Jika belum tidak perlu risau. Anda bukan satu-satunya. Tubaba adalah kabupaten muda di Provinsi Lampung. Usianya belum genap 8 tahun. Umar Ahmad adalah orang nomor satu di kabupaten anyar tersebut.
Pada Februari lalu, sang bupati mengundang sembilan penulis ke Tubaba. Mereka menempuh jalan darat sepanjang 135 kilometer dari Bandar Lampung. Berperahu di Way Tulang Bawang. Selama 3 hari mereka berkenalan dengan Tubaba dan berbagai aspek yang melingkupinya. Sungai, hutan, rawa, perkebunan, adat istiadat, sejarah, mitologi, kuliner, hingga pembangunan fisiknya.
“Kami bermimpi tentang sebuah kota yang mandiri, multikultural, berdikari, terus berkembang, dan berusaha lebih baik. Kami bermimpi tentang satu kota yang tidak lagi ditinggalkan penduduknya sendiri,” ujar Umar Ahmad.
Memperkenalkan Tubaba melalui kesusastraan adalah hal yang unik. Ini adalah upaya membentuk imaji suatu kota dengan selera elegan. Menampilkan cerita fiksi memberikan kesempatan kepada publik untuk menafsirkan sendiri bayangan soal kota yang baru berkembang.
Sembilan nama yang dilibatkan juga bukan penulis kacangan. Siapa yang tidak mengenal A.S Laksana? Ada juga nama Yusi Avianto Paraenom yang novel perdananya ‘Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi’ diapresiasi banyak orang. Dari kalangan yang lebih muda ada nama Dewi Kharisma Michelia, nominator Khatulistiwa Literary Award 2015, yang baru saja menyelesaikan karya terbarunya A Copy of Mind.
Nama penulis lainnya yang tidak kalah mentereng adalah Nukila Ahmad, Iswadi Pratama, Esha Tegar Putra, Afrizal Malna, Dea Anugerah, dan Langgeng Prima Anggradinata. Kecuali Iswadi, kedelapan penulis lainnya belum pernah mengunjungi Tubaba. Mereka mempertaruhkan nama dan kredibilitas mereka untuk kerja sastra ini.
Hasilnya tiga esai, 11 cerpen, 15 puisi, dan sebuah naskah teater tersaji dalam buku setebal 209 halaman. Michel menampilkan cerita ber-judul ‘Nenek’. Dia menulisnya dengan gaya realisme magis yang memikat.
Berkisah tentang seorang wanita berumur 600 tahun yang pada akhir hayat-nya dijemput seekor harimau. Wanita tua itu tidak mati meskipun lubang bekas cakaran harimau menganga di dadanya. Dia hanya pergi. Dalam ceritanya, Michel menggunakan frasa ‘hilang ditelan cak rawala’.
Dea Anugerah juga memakai formula serupa untuk membuat ‘Kisah Afonso’. Ia membuka ceritanya dengan sebuah kalimat yang sederhana tetapi di luar nalar. ‘Afonso Garcia de Solis, misalnya, adalah seekor buaya yang juga seorang manusia, dan penjelajah asal Eropa, dan menutur seorang ilmuwan antropologi, adalah seekor ikan baung yang karena kesialan murni, berakhir sebagai lauk makan siang anak-anaknya sendiri’.
Menurut Michel, gaya penulisan realisme magis memang terinspirasi dari cerita-cerita lisan yang banyak beredar di Tubaba. Saat mengunjungi tetua adat setempat misalnya, para penulis mendapatkan kisah tentang meriam yang hobi menangis. “Ada juga cerita tentang sungai yang bisa menyerap kekuatan jika kita melewatinya,” tutur Michel kepada Bisnis.
Adinda Luthvianti, perancang kerja sastra Tubaba, menjelaskan mitologi dan cerita magis yang beredar di Tulang Bawang Barat tidak bisa dilepaskan dari Kesultanan Banten. Salah satu tempat bernama Pagar Dewa dipercaya sebagai pusat kerajaan Tulang Bawang zaman dulu. “Pagar Dewa ini memiliki korelasi yang sangat erat dengan Banten,” katanya.
SASTRA LISAN
Budaya sastra lisan juga sangat kental di Tubaba. Para tetua adat ter-biasa menceritakan kisah-kisah heroik di luar logika kepada generasi selanjutnya. Adinda menuturkan hal ini membentuk penyimpanan khazanah budaya yang kaya di daerah ini.
Tidak semua orang melihat Tubaba sebagai tempat yang diselimuti aroma gaib tentu saja. Yusi Avianto memilih cerita soal pertemuan ayah-anak setelah puluhan tahun tidak saling menyadari keberadaan masing-masing. Yusi tidak melirik mistisisme. Ia justru berangkat dari kisah banal seorang anak kelas 3 SMP yang menghamili kakak temannya sendiri. Yusi memang tidak menafikan kisah-kisah yang beredar di Tubaba. Ia hanya memberikan porsi secukupnya. Melihat kisah itu dari sudut pandang netral.
Memang bukan pekerjaan mudah memperkenalkan sebuah daerah yang masih sulit diakses lewat karya fiksi. Apalagi Michel juga mengeluhkan waktu pengenalan dengan Tubaba yang relatif singkat. Dia merasa tiga hari sangat tidak mencukupi untuk meresapi yang bisa ditawarkan kabupaten ini. “Kami akan melihat bagaimana respons generasi di Tubaba setelah proyek kerja sastra ini,” tutup Adinda.
Referensi