Bisnis.com, JAKARTA-Akhir tahun lalu, pemerintah menyisakan sebuah pekerjaan rumah besar di bidang perlindungan terhadap anak-anak. Pasalnya, ada satu ancaman laten bagi generasi penerus bangsa. Ancaman itu tak lain adalah Internet.
Masalah proteksi terhadap anak dari sisi kelam dunia maya sebenarnya sudah lama merongrong para orang tua di Indonesia. Negara pun tak tinggal diam untuk menuntaskan problematika yang dipicu pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi itu.
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), sepanjang 2011—2014, jumlah anak yang tercatat menjadi korban pornografi dan kejahatan online di Tanah Air menembus 1.022 anak.
Adapun, perinciannya a.l. 28% menjadi korban pornografi online, 21% korban pornografi anak online, 20% korban prostitusi anak online, 15% menjadi obyek CD porno, dan 11% menjadi korban kekerasan seksual online.
Sementara itu, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh KPP-PA dan Katapedia, paparan pornografi terhadap anak tercatat sebanyak 63.066 melalui Google, Instagram, dan berbagai portal berita online. Belum lagi melalui buku bacaan, novel, dan komik.
Khawatir dengan isu tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bekerjasama dengan Bareskrim Polri melakukan kampanye keselamatan anak-anak Indonesia dari dampak buruk Internet.
Kampanye yang digagas akhir 2016 itu sekaligus merupakan wujud kepedulian, perhatian, dan komitmen negara dalam melindungi anak-anak dari berbagai dampak buruk dunia maya; khususnya pornografi online, porstitusi online, dan kejahatan siber.
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian PPPA Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan dari data yang ada, terbukti bahwa saat ini tidak ada lagi daerah di Indonesia yang bebas atau steril dari kasus kejahatan terhadap anak yang berawal dari Internet.
“Disinilah peran strategis kampanyeSave Our Child In The Internet, agar pemerintah dan masyarakat dapat saling bersinergi melindungi anak-anak, karena pemenuhan hak anak harus dilakukan secara holistik guna mewujudkan Indonesia yang sehat secara fisik, mental, dan emosional.”
Di sisi lain, data National Center of Missing and Exploited Children (NCMEC) yang dilansir Bareskrim Polri mengungkapkan bahwa jumlahInternet Protocol (IP) Indonesia yang melakukan unggah dan unduh konten pornografi anak melalui media sosial pada 2015 mencapai 299.602 IP.
Sepanjang kuartal I/2016, jumlahnya mencapai 96.824 IP. Adapun, Facebookdan Twitter merupakan jejaring medsos yang paling banyak digunakan untuk mengunduh dan mengunggah konten pornografi anak.
“Saya mengapresiasi Polri karena sepanjang 2016 telah berhasil mengungkap beberapa kasus kejahatan seksual terhadap anak berbasis onlinedan kejahatan siber yang terjadi di beberapa titik dan lokus rentan,” ujar Pribudiarta.
Menurutnya, maraknya kejahatan siber di bidang pornografi dan semakin banyaknya predator pedofil harus menjadi perhatian seluruh warga dan pemerintah.
Oleh karena itu, negara harus hadir dan memwujudkan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan anak, serta mengimplementasikan berbagai undang-undang dan payung hukum tentang perlindungan anak.
Untuk diketahui, Indonesia telah menerbitkan UU No.10/2012 tentang pengesahan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Children on the Sale of Children, Child Prostitution, and Child Pornography.
Dari segi psikologis, perlindungan terhadap anak dari bahaya Internet harus dititikberatkan pada pola pendidikan orang tua. Bahkan, saat ini telah dikenal istilan digital parentingyang berfungsi sebagai benteng anak-anak dari para pelaku kejahatan siber.
Psikolog Klinik Terpadu Universitas Indonesia Ratih Zulhaqqi mengatakan langkah awal yang harus dilakukan orang tua adalah membatasi usia anak yang berhak memiliki piranti pintarnya sendiri.
“Orang tua harus melakukan pembatasan dari sisi usia. Jangan sampai anak SD, tapi handphone-nya terlalu canggih dan bisa akses semua. Dia bisa terpapar pornografi, dan dari situlah biasanya hasrat seksualnya terdorong untuk mengenal pacaran.”
Selain itu, dia menyarankan agar orang tua mengetahui kata sandi akun media sosial dan surat elektronik buah hatinya. Sebab, di dunia maya semakin banyak predator yang berpotensi menjerumuskan anak-anak ke hal-hal yang bersifat negatif.
“Orang tua memang harus memahami bahwa anak-anaknya memiliki privasi. Namun, privasi berbeda dengan rahasia. Kalau anak sudah terlalu lama mengurung diri di kamar untukInternetan, orang tua tetap harus turun tangan untuk memperingatkan.”