Bisnis.com, JAKARTA - Keajaiban untuk menghapuskan malaria dari seluruh dunia tampaknya tak mungkin muncul setelah para ilmuwan di London menemukan dampak dari nyamuk penular-super.
Untuk pertama kali, para peneliti telah memperlihatkan bahwa jumlah parasit yang dibawa masing-masing nyamuk mempengaruhi peluang penularan malaria.
Mereka mengatakan temuan mereka dapat memiliki dampak global bagi kesehatan masyarakat dan dampaknya bagi pengembangan vaksin anti-malaria.
Para ilmuwan di Center for Outbreak Analysis and Modelling, Medical Research Council, mengatakan beberapa temuan baru mungkin menjelaskan mengapa hanya vaksin malaria yang terdaftar --RTS, S-- hanya memiliki sebagian dampak keberhasilan dalam beberapa percobaan belum lama ini.
Mereka mengatakan untuk memastikan kekuatan penularan malaria, para peneliti dan organisasi internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saat ini mengandalkan langkah yang disebut entomological inoculation rate (EIR): angka rata-rata mengenai potensi penularan dari gigitan nyamuk per orang per tahun.
Namun, mereka mengatakan tindakan itu tidak memperhitungkan berapa besar masing-masing penularan gigitan nyamuk.
Mereka menambahkan, tak ada studi menyeluruh yang menggunakan gigitan nyamuk, yang lebih akurat mencerminkan skenario dunia sesungguhnya.
Di dalam satu studi yang didanai oleh PATH Malaria Vaccine Iniative dan Medical Research Council (MRC), yang disiarkan di jurnal PLOs Pathogens, para peneliti telah menemukan jumlah parasit yang dibawa setiap nyamuk memengaruhi apakah seseorang akan terserang malaria.
Sebagian nyamuk dapat "sangat tertular", sehingga serangga itu sangat mungkin menularkan penyakit tersebut.
Para peneliti itu mendapati makin banyak parasit terdapat pada kelenjar liur nyamuk, makin mungkin hewan tersebut menularkan malaria, dan juga makin cepat penularan terjadi.
Berbagai studi pada tikus dan manusia relawan memungkinkan tim peneliti untuk menjelaskan mengapa vaksin malaria RTS,S hanya efektif sebanyak 50 persen, dan mengapa setiap perlindungan dengan cepat merosot setelah tiga tahun.
"Vaksin tersebut kurang efektif ketika tikus atau manusia digigit oleh nyamuk yang membawa lebih banyak parasit. Para peneliti menduga ini terjadi sebab vaksin hanya bisa membunuh sejumlah tertentu parasit, dan vaksin itu kalah ketika populasi parasit terlalu banyak," kata studi mereka.
Dr Andrew Blagborough, dari Departemen of Life Sciences di Imperial College London, mengatakan, "Temuan ini dapat memiliki dampak besar bagi kesehatan masyarakat. Kita telah memperlihatkan bahwa konsep mengenai pengandalan pada jumlah gigitan saja untuk memperkirakan beban malaria cacat, dan barangkali telah menghambat keberhasilan penggunaan langkah pengendalian dan pengembangan vaksin yang efektif.
Penulis lain studi tersebut, Dr Thomas Churcher, yang juga dari Imperial, berkata, "Pengembangan vaksin telah berlangsung lama, dan pendapat baru ini bisa membantu studi vaksin pada masa depan untuk dicoba dengan lebih aktif. Namun, pada akhirnya, tampaknya tak mungkin satu peluru magis akan menghapuskan malaria, dan kita mesti terus mencari serta menerapkan gabungan strategis bagi pengurangan beban mengenai penyakit ini."