Bisnis.com, JAKARTA - Ribuan tahun sejak pertama kali menginjakkan kaki di bumi Nusantara, orang Tionghoa telah lama mewariskan berbagai jenis kebudayaan eksotis yang hidup dan berasimilasi harmonis dengan kultur asli Indonesia. Salah satu warisan itu adalah wayang potehi.
Potehi berasal dari kata pou yang berarti kain, te yang berarti kantong, dan hi yang berarti wayang. Seperti pemaknaan katanya, wayang ini terbuat dari kain yang dijadikan sarung tangan yang berbentuk boneka untuk dimainkan sebagai sebentuk hiburan.
Konon, seni potehi sudah hidup selama lebih dari 3.000 tahun sejak era kejayaan Dinasti Jin (265-420 masehi). Namun, perkembangannya baru mulai pesat semasa pemerintahan Dinasti Song (950-1279 masehi).
Diperkirakan, potehi menjajaki bumi Nusantara antara abad XVI—XIX. Penyebarannya di Tanah Air sendiri terpantau oleh seseorang berkewarganegaraan Inggris bernama Edmund Scott, yang bertandang ke Banten pada 1602 dan 1625.
Di dalam catatannya, Edmund menyinggung soal pertunjukan seni menyerupai opera yang digelar apabila kapal-kapal jung hendak berangkat atau kembali dari China. Menurutnya, pertunjukan itu melibatkan upacara sesembahan dengan persiapan yang sakral.
Dikatakannya, pertunjukan sandiwara itu kerap berlangsung sepanjang hari hingga keesokan paginya. Biasanya pergelaran dilakukan sebagai kebaktian bagi para dewa, yang melibatkan upacara bakar kurban dan doa-doa oleh para pendeta.
Dalam perkembangannya selama 1—2 abad kemudian, para penjelajah asing di Nusantara menggambarkan pertunjukan tersebut merupakan sejenis teater asli Tiongkok yang sudah menyatu di tengah masyarakat perantau; khususnya di kota-kota utama saat itu.
Namun, tidak ada yang menyebutnya atau merujuknya sebagai po-te-hi alias teater boneka sarung asal Fujian Selatan yang hingga kini masih berkembang dan dilestarikan di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Baru pada abad XVIII, seorang Jerman bernama Ernst Christoph Barchewitz menyatakan bahwa dirinya sering melihat pertunjukan tersebut di daerah Batavia dan dimainkan dalam bahasa Mandarin. Ernst sendiri saat itu telah tinggal di Jawa selama lebih dari satu dekade.
Sejak saat itu, nama potehi mulai dikenal. Bagi etnis Tionghoa, potehi bukan sekadar pertunjukan hiburan tetapi memiliki makna filosofis, menunjukkan fungsi sosial, serta bagian dari ritual sakral. Dengan kata lain, perannya mirip dengan jenis wayang lain dari Tanah Air.
Di dalam potehi, terdapat beberapa lakon wajib yang dimunculkan. Misalnya saja Si JinKui, Hong Kiam Chun Chiu, Cu Hun Cau Kok, Lo Thong Sau Pak, dan Pnui Si Giok. Ada juga karakter yang wajah dan warnanya sudah dipakemkan alias tidak boleh diubah-ubah, yaitu; Koan Kong, Utti Kiong, dan Thia Kau Kim.
Pada era modern, kesenian potehi telah diakui sebagai salah satu kultur serapan di Indonesia. Sayangnya, eksistensinya tidak lagi semarak seperti dulu saat kapal-kapal jung hendak berlabuh dari Banten. Potehi saat ini hanya digelar saat perayaan tertentu, khususnya Imlek.
Tidak banyak penggiat kesenian potehi yang masih bertahan di Indonesia. Namun, keragaman jenis serta makna filosofi dibalik setiap tokoh potehi memikat atensi yayasan Po Tee Hie FU HE AN, yang berasal dari Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Menyambut datangnya Tahun Baru China 2017, yayasan tersebut menggelar pameran bertajuk Potehi Reborn selama 20 Januari—25 Februari di Galeri House of Sampoerna Surabaya.
Pendiri yayasan Po Tee Hi FU HE AN, Toni Harsono Sang Marcenas, menjelaskan dulunya potehi hanya memainkan lakon-lakon yang berasal dari kisah klasik Tiongkok seperti legenda dinasti-dinasti yang ada di China Daratan.
Namun, saat ini potehi sudah mengadopsi cerita-cerita di luar kisah klasik. Misalnya dari novel Sey Yu (Perjalanan Suci ke Barat) dengan lakon tersohornya Kera Sakti alias Sun Go Kong.
Ada juga cerita saduran dari Sampek Engtay alias legenda Tiongkok yang mengisahkan tragedi romantika dua kekasih; Sampek dan Engtay. Semuanya termasuk ke dalam 100 tokoh wayang koleksi yayasan yang dipertontonkan dalam pameran tersebut.
“Yayasan kami ini didirikan sebagai wadah bagi para penggiat potehi, mulai dari dalang hingga pemain musiknya. Kami dilatarbelakangi oleh keinginan menggelorakan semangat keberagaman budaya Nusantara, dengan menggelar pertunjukan di banyak tempat,” kata Toni.
Dia menceritakan yayasannya kerap menggelar pertunjukan tidak hanya di klenteng. Yayasan yang memiliki makna ‘rezeki dan keselamatan’ itu juga kerap tampil di berbagai mal, kampus, bahkan gereja, dan pesantren.
Toni memiliki tujuan mulia agar para generasi muda dan pemerhati potehi semakin mengenal sejarah kesenian tersebut. Dia mendirikan yayasannya secara swadaya dan membangun ruang pamer atau museum berisikan koleksi wayang potehi dan wayang-wayang Nusantara.
Museum tersebut rencananya juga akan dilengkapi dengan panggung terbuka untuk pertunjukan seni, perpustakaan, tempat belajar, riset akademis, danworkshop dimana setiap pengunjung bisa melihat dan belajar membuat wayang potehi dari awal hingga akhir.
“Melalui pertunjukan wayang serta pameran baik skala nasional maupun internasional, kami berharap dapat memperkenalkan lebih luas wayang potehi agar timbul pemahaman dan kecintaan akan kesenian ini. Museum yang sedang kami bangun juga diharapkan dapat memperkuat pemahaman dari sisi sejarah wayang potehi,” ucap Toni.