Anak-anak. /Bisnis.com
Health

Pertimbangkan Dampak Sosial & Psikologis Anak di Sekolah SPK

Wike Dita Herlinda
Minggu, 4 Juni 2017 - 21:50
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA--Saat ini, sekolah berkurikulum internasional (sekarang bernama satuan pendidikan kerjasama/SPK) semakin banyak dijumpai di seluruh kota besar Indonesia. Padahal, dulu jumlahnya hanya beberapa saja.

 

Sejalan dengan itu, semakin banyak pula orang tua yang berlomba-lomba mendaftarkan anak-anak mereka untuk menempuh pendidikan di sekolah-sekolah SPK.

 

Menariknya, saat ini keinginan untuk menyekolahkan anak di SPK tidak hanya didominasi oleh orang tua dari kalangan kelas atas, tetapi merambah ke kalangan kelas menengah. Banyak ortu yang rela merelokasikan anggaran keluarga untuk pendidikan anak di SPK.

 

Namun, di balik tren tersebut, apakah sebenarnya manfaat bersekolah di SPK bagi tumbuh kembang anak baik secara sosial maupun psikologis? Berikut penuturan psikolog anak dan keluarga dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia (LPTUI) Mira D. Amir:

 

Apa yang memicu semakin banyak orang tua lebih mempercayai pendidikan dari sekolah internasional ketimbangsekolah berkurikulum lokal?

 

Pertama, banyak orang tua yang merasa kurikulum nasional terlalu membebani anaknya. Banyak bahan ajaran yang dirasakan tidak mempunyai korelasi langsung dengan apa yang dibutuhkan anak.

 

Jadi, mereka lebih memilih kurikulum internasional supaya anaknya bisa lebih fokus pada mata pelajaran tertentu yang lebih diperhitungkan secara internasional. Dengan harapan buah hatinya bisa lebih kompetitif.

 

Kedua, orang tua yang merasa mata pelajaran di sekolah nasional terlalu banyak. Padahal, mereka ingin fokus mengarahkan pendidikan anaknya ke jenjang pendidikan tinggi skala internasional atau bahkan ke luar negeri. Jadi sejak tingkat dasar anaknya sudah diarahkan untuk masuk ke sekolah internasional.

 

Ketiga¸ saat ini semakin banyak orang tua kelas menengah yang juga ingin anaknya bisa bersekolah dengan standarinternasional. Itu karena orang tua berpikir agar anaknya bisa mendapatkan lebih dari apa yang didapatkan orang tuanya dulu. Banyak orang tua yang merasa memberi pendidikan terbaik adalah bagian dari investasi.

 

 

Keempat, bisa saja orangtua menyekolahkan anak ke sekolah SPK karena lingkungan pergaulan keluarganya membutuhkan banyak interaksi dengan kaum ekspatriat. Misalnya saja, keluarga mereka sedang atau akan mendapat penugasan [ke luar negeri].

 

Akhirnya, mereka merasa bahwa yang dibutuhkan anaknya adalah pendidikan berstandar internasional yang tepat, karena anaknya akan hidup dan berinteraksi di level internasional.

 

Seberapa perlu anak dididik dengan kurikulum internasional atau pelajaran berpengantar bahasa asing? Apakah esensial atau hanya sekadar tren saja?

 

Itu semua kembali ke tujuan awal dan komitmen orang tua. Tidak sedikit orang tua yang memang ikut-ikutan tren menyekolahkan anak di sekolah internasional, tapi sayang, anaknya justru tidak mencapai hasil yang optimal.

 

Mendidik anak dengan pengantar bahasa asing itu harus mempertimbangkan faktor kemampuan anak juga. Kalau anaknya mampu sih tidak masalah, tapi kalau biasa-biasa saja, mereka justru akan kesulitan sendiri.

 

Saya juga menjumpai banyak kasus, dimana anak yang sehari-hari dididik dengan bahasa pengantar asing justru menjadi canggung saat berinteraksi dengan orang tuanya. Mungkin karena orang tuanya sendiri tidak fasih berbahasa asing.

 

Itulah sebabnya, orang tua harus melihat kemampuan anak dulu. Memang ada anak-anak yang punya potensi, tetapi ada juga anak-anak yang cara berkomunikasinya lebih terpengaruh lingkungan rumah yang menggunakan bahasa lokal, sehingga dia lebih cocok ke sekolah nasional atau nasional plus.

 

Apa dampak sosial dan psikologis bagi tumbuh kembang anak (khususnya jenjang TK atau SD) yang mendapatkan pendidikan di sekolah internasional?

 

Ketika bergaul dengan teman satu sekolah, biasanya anak-anak itu baik-baik saja. Namun, semua berubah ketika mereka keluar dari lingkungan sekolah dan bertemu masyarakat umum, tetangga, saudara, dan lainnya yang sehari-hari menggunakan bahasa indonesia atau daerah.

 

Mereka akan mendapatkan benturan dalam pergaulan. Biasanya mereka akan menjadi canggung. Bisa saja mereka yang kesulitan beradaptasi karena gaya bahasa dan pola pikirnya berbeda, atau sebaliknya justru mereka yang dipandang aneh oleh lingkungan. Hal ini terutama terjadi pada anak SD yang bersekolah di sekolah internasional.

 

Menginjak remaja, ada lagi permasalahannya. Banyak orang tua yang mengeluh, kenapa anaknya kalau mencari pacar harus yang berstandar bule. Ya jelas saja, karena selama bertahun-tahun mereka di sekolah internasional dan dikondisikan dengan standar yang berbeda dengan standar lokal.

 

Mereka terbiasa bergaul dengan warga dan teman-teman asing, sehingga mereka menetapkan standar yang berorientasiinternasional; baik dalam mencari pacar, mencari perguruan tinggi, pekerjaan, bahkan tempat tinggal kelak. Standar Indonesia tidak masuk perhitungan mereka.

 

Akhirnya, anak tersebut berpotensi sekali mengalami culture shock dan kekakuan interaksi sosial karena pola pikir dan gaya hidup mereka berbeda dengan masyarakat pada umumnya.

 

Apa yang harus diperhatikan/diantisipasi orang tua yang ingin mendaftarkan anaknya di sekolah internasional?

 

Yang paling sering menjadi keluhan adalah kestabilan ekonomi untuk mencukupi biaya pendidikan anak di sekolahinternasional. Sebab, biayanya tidak sedikit dan sangat mahal sekali.

 

Ada kasus-kasus di mana orang tua tidak sanggup melanjutkan biaya sekolah anak di tengah jalan, sehingga terpaksa dipindahkan ke sekolah nasional atau nasional plus. Akhirnya si anak menjadi shock, karena dia sudah nyaman dan terbiasa dengan pergaulan internasionalnya.

 

Di situlah terjadi konflik. Anak sudah kadung terbiasa di sekolah internasional, lalu tiba-tiba mau dikembalikan ke standar biasa. Dia akan mengalami kesulitan secara emosional dan sosial.

 

Jadi, saat berencana menyekolahkan anak di sekolah internasional, mau tidak mau orang tua harus menyesuaikan dengan anggaran keuangan keluarga. Sebab, terkadang kehidupan ekonomi tidak selamanya stabil.

 

Selain masalah budget, perhatikan juga masalah budaya. Ketika dulu orang tuanya sekolah di sekolah nasional, tetapi anaknyasekolah di sekolah internasional; biasanya terjadi kesenjangan pola pikir dan pergaulan akibat standar yang berbeda.

 

Perlu diingat, ketika kita mendaftarkan anak ke sekolah internasional, kita tidak hanya memberikan dia pembelajaran, tetapi sekaligus menerjunkan dia ke dalam standar kehidupan tertentu. Ada cost yang harus dibayar untuk itu.

 

Gaya hidup untuk bisa menyesuaikan dengan standar internasional pun harus diperhitungkan. Kalau si anak berada di lingkungan yang ‘mahal’, mau tidak mau anak itu harus berinteraksi dengan kelompok tersebut. Kalau dia tidak bisa keep up, dia akan merasa berbeda dengan yang lain dan tidak menutup kemungkinan dia menjadi minder.

Editor : Rustam Agus
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro