Fashion

Investasi Benda Seni Tak Prospektif di Indonesia

Wike Dita Herlinda
Sabtu, 14 Oktober 2017 - 13:57
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA - Beberapa tahun belakangan ini mulai bermunculan perusahaan-perusahaan yang mengoleksi berbagai benda seni. Diduga, koleksi tersebut digunakan sebagai sarana diversifikasi investasi.

Bagaimanapun, tren menggunakan barang seni sebagai bentuk investasi perusahaan masih dinilai sebagai sebuah praktik kontroversial. Sebagian kalangan menganggap perusahaan—terutama yang bergerak di bidang perbankan atau pembiayaan—tidak etis mengatasnamakan program CSR kebudayaan/kesenian untuk berinvestasi.

Berbeda dengan investasi benda seni untuk perseorangan, praktik investasi benda seni yang dilakukan oleh perusahaan juga dianggap tidak prospektif di Indonesia. Mengapa demikian? Berikut penjelasan kurator/kritikus seni kawakan Jim Supangkat:

Bagaimana pendapat Anda tentang mulai banyaknya perusahaan-perusahaan yang melirik benda seni sebagai bentuk investasi tambahan? Apakah itu pertanda di Indonesia investasi benda seni prospeknya positif?

Saya memang pernah dihubungi oleh [salah satu perusahaan bank terbesar]. Mereka memiliki wealth management yang menanyakan kemungkinan soal investasi benda seni itu. Saya jawab negatif, karena investasi karya seni bagi perusahaan itu tidak masuk akal di Indonesia.

‘Investasi seni’ yang mereka maksud di sini adalah karya-karya seni modern dari abad XIX ke atas dan karya-karya seni kontemporer. Bukan termasuk barang antik atau benda-benda pusaka.

Mengapa negatif?

Pertama, jumlah orang yang ahli dan berkompeten di bidang kurasi seni rupa di Indonesia sangat-sangat kurang. Padahal, kalau mau [menjadikan benda seni sebagai] investasi, diperlukan tenaga expert bukan sekadar pedagangnya, tetapi orang yang memahami nilai seninya. Bukan nilai nominalnya. Nah, ahli di Indonesia itu minim sekali.

Kedua, kalau bicara soal investasi untuk perusahaan, asal tahu saja karya-karya seni rupa Indonesia dari seniman Indonesia itu tidak ada standarnya. Standar nilai [seni] di Indonesia itu kabur, sebab dasar-dasar pengetahuannya belum stabil.

Berbeda dengan di Eropa atau Amerika Utara. Di sana, sudah ada pranata dan institusi yang kompeten untuk menilai sebuah karya seni. Perguruan tingginya pun memiliki pengetahuan mumpuni tentang seni rupa. Itu yang kita masih belum punya.

Jadi, apakah karya-karya seniman lokal tidak bisa dijadikan investasi?

Karya-karya seni rupa di Indonesia itu, menurut saya, [banderol] harganya tidak punya dasar. Hanya ditentukan oleh pasar. Barang apapun bisa menjadi mahal karena pembeli yang menentukan. Kaleng bekas bisa jadi Rp1 miliar karena harga ditentukan oleh pasar.

Di luar negeri, memang ada karya-karya seni yang harganya gila-gilaan. Lukisan Vincent Van Gogh harganya bisa US$300juta—US$400 juta. Namun, harga itu didasari oleh nilainya, sejarahnya, dan infrastrukturnya memang dahsyat.

Sementara itu, karya-karya seni rupa kontemporer yang katanya ‘lebih peduli publik’ itu bisa dihargai gila-gilaan karena pembeli yang menentukan. Itu saja, menurut saya, sudah janggal untuk dijadikan sebuah investasi.

Banyak kolektor benda seni di Indonesia yang mengira karya seniman lokal bisa bernilai investasi tinggi karena memiliki kriteria seperti karyanya Van Gogh. Padahal kan tidak mungkin. Museum dan tenaga expert yang berkompeten saja tidak ada.

Nah, kalau standardisasi nilainya saja tidak ada bagaimana bisa karya seniman lokal bisa dijadikan sebagai sebuah investasi. Kalau [karya seniman lokal] dilempar ke pasar internasional, pasti ditolak karena tidak jelas basis nilainya.

Di Indonesia, yang ada sekarang ini, percaturan kolektor benda seni terbentuk semata-mata karena mekanisme pasar yang tidak berstandar. Namun, bukan berarti saya pesimistis tidak ada karya Indonesia yang bernilai.

Karya-karya besar seperti Raden Saleh itu selayaknya memang dihargai tinggi, atau bahkan tidak ternilai. Sebab memang basis sejarahnya cukup eksplisit dan bukan didasari oleh ketentuan-ketentuan teknis.

Bagaimana sebaiknya perusahaan mengoleksi benda seni untuk investasi?

Asal tahu saja, di luar hampir tidak ada ‘perusahaan besar’ yang mengumumkan bahwa mereka berinvestasi di bidang karya seni. Perusahaan seperti itu akan dianggap barbar. Karya seni itu sebaiknya cukup dikoleksi untuk menaikkan gengsi perusahaan.

Atau, jika memang ingin berkiprah di bidang kesenian, jadikanlah sebagai program CSR bukan sebagai investasi. Misalnya seperti yang dilakukan oleh Getty Corp. Pada awalnya Getty Sr., sang founder, memiliki cukup banyak koleksi benda seni.

Setelah dia meninggal dan Getty Corp. go public, perusahaan tersebut membuat pusat kebudayaan di Los Angeles yang luar biasa mahal. Semua bertanya dari mana Getty mendapatkan uang untuk membiayaan pusat kebudayaan itu.

Akhirnya terungkap bahwa mereka memiliki Getty Trust yang mengumpulkan uang dalam jumlah besar untuk membangun pusat kebudayaan yang mahal itu. Jadi pusat kebudayaan tersebut merupakan program sosial dari Getty Trust.

Perusahaan-perusahaan besar yang memang punya komitmen pada kesenian jangan mengoleksi benda seni untuk investasi. Itu adalah hal ‘memalukan’. Pengusaha besar di luar negeri tidak mau berdagang dengan perusahaan yang memanipulasi nilai karya seni.

Kalaupun mau investasi seni, lebih baik lakukan diam-diam, jangan dibuka ke permukaan. Jangan menggunakan bendera perusahaan, apalagi menggunakan kekayaan orang lain [nasabah] untuk berinvestasi benda seni.

Bagaimana mengalkulasi nilai benda seni yang dianggap berharga dan bisa dijadikan aset untuk perusahaan?

Kalau perusahaan-perusahaan besar di Indonesia mau ‘investasi benda seni’, harusnya koleksilah karya-karya maestro dunia. Itu baru bernilai. Bukan karya-karya seniman muda, apalagi seniman muda lokal yang katanya potensial.

Hanya saja, untuk memiliki karya maestro dunia itu harus ada ahlinya. Sekali lagi, di Indonesia belum ada tenaga expert untuk mengkurasi karya maestro. Artinya, kalau perusahaan besar mau investasi karya seni, carilah karya maestro dunia dan cari konsultannya di luar negeri.

Lalu, sekali lagi, lakukanlah diam-diam. Jangan menggunakan bendera perusahaan. Perusahaan-perusahaan besar di luar negeri menggunakan program CSR untuk pengembangan kesenian dan kebudayaan. Jadi, perusahaan Indonesia kalau mau menyumbang untuk dunia seni budaya, jangan mengatasnamakan investasi.

Bagaimana cara mendapatkan benda seni yang layak dikoleksi perusahaan?

Melalui lelang. Lelang benda seni secara tradisional sudah ada di Inggris selama berabad-abad. Namun, sejak 1980-an pindah ke AS. Sejak saat itu pula, lelang benda seni sudah tidak lagi bonafide tetapi lebih ke aktivitas dagang semata.

Bagaimanapun, di lelang tersebut masih terhimpun karya-karya bersejarah. Yah, walaupun lelang zaman sekarang sudah tidak sejujur dulu.

Untuk mendapatkan karya seni yang bernilai, hal yang paling utama tentunya adalah keaslian. Namun, kebanyakan karya maestro dunia memang tidak diperjualbelikan karena memang dipersiapkan untuk museum. Jadi, harganya tentu bukan harga pasar. Karya-karya maestro dunia yang ada di tangan kolektor itu hanyalah karya karya ‘kelas 2 dan 3’.

Sebenarnya, untuk mendapatkan karya-karya maestro di Asia lebih mudah karena memang masih belum ada tempatnya. Museum dan kuratornya belum banyak. Sehingga, beberapa karya beredar begitu saja di masyarakat. Namun, lagi-lagi, penentuan nilainya sangat tidak berdasar.

Sekali lagi, secara umum saya berpendapat seni itu prestise dan gengsi. Perusahaan-perusahaan harus menghitung nilai prestise itu, sehingga harus siap dengan harga yang bisa gila-gilaan. Namun, jangan menggunakan program CSR seni budaya untuk investasi, itu melanggar hukum.

 

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro