Bisnis.com, JAKARTA -- Cynthia baru menyadari tulang punggungnya mengalami kelengkungan ketika akan fitting baju, saat itu usianya sekitar 15 tahun. Setelah di-rontgen, tulang belakangnya telah melengkung hingga sudut 45 derajat, dia pun didiagnosis skoliosis idiopatik.
Ternyata, kebiasaan Cynthia menulis dengan posisi miring sejak kecil menjadi salah satu pemicu terjadinya skoliosis. “Saya memang suka nulis miring dan membaca sambil tiduran dengan posisi tengkurap dan bahu miring, karena itu merupakan posisi nyaman bagi saya,” tuturnya dalam Seminar Media Scoliosis Care 2018, pekan lalu.
Siapa sangka kebiasaan kecil yang terlihat sepele, ketika dilakukan secara terus-menerus mengakibatkan munculnya kelainan rangka tubuh berupa kelengkungan tulang.
Skoliosis sendiri berasal dari kata Yunani yang berarti lengkungan, mengandung arti kondisi patologi. Skoliosis merupakan deformitas tulang belakang yang menggambarkan deviasi vertebra ke arah lateral dan rotasional. Kelainan ini didefinisikan sebagai kelengkungan tulang belakang ke arah lateral yang memiliki sudut Cobb lebih dari 10 derajat.
Kelengkungan abnormal tersebut bisa terjadi karena kelainan kongenital, kelainan pembentukan tulang atau kelainan neurologis, tapi pada sebagian kasus bersifat idiopatik atau terjadi karena kebiasaan atau kecelakaan.
Fisioterapis Scoliosis Care Nistriani T.P Kusaly mengatakan skoliosis dapat terjadi sejak balita dan kanak-kanak yaitu usia 0-3 tahun (infantile), 4-9 tahun (juvenile), 10-19 tahun (adolescent), dan lebih dari 19 tahun (adult).
Progresivitas skoliosis terjadi pada umur 10-18 tahun. Pada anak-anak, skoliosis dapat tumbuh menjadi kondisi yang serius karena berkembang sangat cepat seiring pertumbuhannya.
Skoliosis juga dapat terjadi pada orang dewasa yang tidak memiliki sejarah kondisi ini akibat dari degenerasi pada tulang belakang dan usia bertambah tua. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, skoliosis lebih banyak terjadi pada perempuan karena perempuan memiliki jumlah otot yang lebih lemah.
“Jika seseorang memiliki genetik skoliosis tapi gaya hidupnya baik maka risiko terkena skoliosis kecil sekali. Kalau memiliki faktor genetik, diperburuk dengan lifestyle yang buruk maka akan besar risiko menderita skoliosis. Tapi kalau nggak ada keturunan skoliosis tapi lifestyle-nya buruk, bisa mengalami skoliosis tapi lengkungannya tidak separah yang memiliki faktor keturunan,” tuturnya.
Sayangnya, masyarakat masih kurang menyadari pentingnya edukasi skoliosis, padahal prevalensi skoliosis makin meningkat yaitu sekitar 3% di dunia dan 4%-5% di Indonesia. Jika skoliosis terdeteksi atau ditemukan lebih awal, pasien dapat menghindari gejala-gejala kondisi yang lebih parah.
“Deteksi dini secara akurat merupakan langkah penting yang harus dilakukan dalam perawatan skoliosis karena kelainan tulang belakang ini menyebabkan munculnya berbagai macam penyakit, mulai dari sesak nafas, paru-paru, ginjal, hingga tidak bisa hamil dan bahkan kematian jika lengkungannya sudah semakin parah,” tuturnya.
Ahli fisiologi dan anatomi Labana Simanihuruk mengatakan untuk mengantisipasi kelainan tersebut, bisa dilakukan dengan mengecek dari belakang. Misalnya keadaan bahu yang asimetris/miring, tonjolan tulang bahu, kurva yang terlihat, pinggul miring dan pinggang miring.
Bisa juga melakukan pengecekan dengan membungkuk. Yakni mengecek punuk di punggung atas dan mengecek punuk di bawah punggung.
Terapi Nonoperasi
Jika terdeteksi adanya kelainan, maka penderita dapat melakukan berbagai perawatan, tanpa harus melalui operasi atau terapi nonoperasi. Terapi ini menjadi harapan baru bagi pasien skoliosis karena dapat mengkoreksi kurva derajat secara besar.
Umumnya, terapi nonoperasi yang dilakukan yaitu penggunaan brace, exercise, dan latihan fisik dengan alat fisioterapi untuk mengurangi rasa nyeri.
Menurut Labana terapi nonoperasi melalui brace terbukti mengurangi lengkung atau kurva pada kasus umum skoliosis dan khyphosis, mengurangi sakit, memperbaiki postur tubuh, memperlambat pertumbuhan kurva pada anak, memperbaiki bentuk tubuh dengan mengurangi tonjolan tulang iga serta mensejajarkan bahu dan pinggang.
“Brace sangat berperan mengkoreksi kurva terutama bagi pasien yang memiliki kurva lebih dari 30 derajat dan ditambah melakukan exercise sesuai dengan bentuk kurva, bukan exercise konvensional,” ujarnya.
Hal ini diamini oleh Cynthia yang baru sekitar 7 bulan terakhir mengenakan brace. Wanita yang aktif sebagai penari Bali ini mengaku takut melakukan operasi sehingga selama ini dia hanya melakukan terapi biasa. Namun, derajat kelengkungannya justru bertambah menjadi 53 hingga 55.
Akhirnya setelah mencoba menggunakan brace dibantu dengan latihan fisik serta berbagai latihan sesuai arahan sejak 7 bulan terakhir, kurvanya turun menjadi sekitar 30-an derajat. “Saya ingin sembuh tapi saya takut operasi, akhirnya saya memilih terapi nonoperasi dengan menggunakan brace, ternyata lengkungan tulang punggung saya turun,” tuturnya bahagia.