Bisnis.com, JAKARTA – Virus ini telah merenggut ratusan nyawa dan menginfeksi puluhan ribu orang. Virus ini juga telah mengancam prospek pariwisata dan menggoyang pasar keuangan global dalam beberapa waktu terakhir.
Namun, virus mematikan itu belum memiliki nama yang tepat. Banyak pihak, profesional maupun non-profesional menyebutnya virus corona (coronavirus). Namun, sesungguhnya ini adalah nama 'marga' yang dihuninya.
Untuk sementara ini, virus corona jenis baru yang mewabah di kota Wuhan, China, sejak akhir Desember 2019 itu diberi nama ilmiah 2019-nCoV, artinya virus corona jenis baru yang ditemukan pada tahun 2019.
Sekelompok ilmuwan telah bergulat di balik pintu tertutup guna menemukan istilah yang tepat untuk virus tersebut. Kini, mereka mengungkapkan bahwa nama itu akan segera diumumkan. Tapi mengapa butuh waktu lama?
Menurut Crystal Watson, seorang senior di Johns Hopkins Center for Health Security, penamaan virus baru seringkali cukup tertunda.
“Fokus hingga saat ini tertuju pada respons kesehatan masyarakat. Ini dapat dimengerti. Tapi ada alasan penamaan itu harus menjadi prioritas,” tutur Watson, seperti dilansir BBC, Rabu (5/2/2020).
Untuk mencoba membedakan virus khusus ini, para ilmuwan telah menyebutnya virus corona jenis baru alias novel coronavirus, yang penampakannya seperti mahkota ketika dilihat melalui mikroskop.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan nama sementara 2019-nCoV, yang merujuk pada "n" untuk novel, dan "CoV" untuk coronavirus. Tapi nama ini belum benar-benar terpatri.
Watson menjelaskan bahwa nama yang dimiliki virus itu saat ini tidak mudah digunakan dan media serta masyarakat menggunakan nama-nama lain untuknya.
"Bahaya tidak adanya nama resmi adalah orang-orang mulai menggunakan istilah-istilah seperti virus China, dan itu dapat membuat reaksi balik terhadap populasi tertentu,” tambah Watson.
“[Apalagi] dengan media sosial, dimana nama-nama yang tidak resmi bertahan dengan cepat dan sulit untuk ditarik kembali,” paparnya lagi.
Tugas penamaan virus secara resmi adalah tanggung jawab Komite Internasional untuk Taksonomi Virus (ICTV). Pengalaman wabah sebelumnya menjadi pelajaran penting dalam hal memberi nama virus.
Virus H1N1 pada tahun 2009 yang dijuluki "flu babi" contohnya. Penamaan ini menyebabkan Mesir menyembelih semua babi-nya. Padahal virus tersebut ditularkan oleh manusia, bukan babi.
Nama resmi juga terbukti bisa bermasalah. WHO mengkritik nama MERS (Sindrom Pernapasan Timur Tengah) pada 2015.
"Kami telah melihat nama-nama penyakit tertentu memprovokasi reaksi terhadap anggota komunitas agama atau etnis tertentu, menciptakan hambatan yang tidak dapat dibenarkan untuk melakukan perjalanan, niaga dan perdagangan, serta memicu pembantaian hewan yang tidak perlu," tulis WHO dalam sebuah pernyataan.
Akibatnya, WHO mengeluarkan pedoman untuk penamaan virus. Nama virus corona jenis baru nanti tidak seharusnya mencakup lokasi geografis, nama orang, nama binatang atau sejenis makanan, dan referensi atas budaya atau industri tertentu.
Suatu penamaan dikatakan harus pendek dan deskriptif - seperti SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome).
Benjamin Neuman, seorang profesor virologi yang, bersama 10 orang lainnya dalam kelompok studi ICTV telah mempertimbangkan nama baru tersebut, berpendapat bahwa nama itu harus juga memiliki kaitan.
"Harus terdengar lebih catchy daripada nama-nama lain di luar sana,” ujarnya.
Tim ICTV mulai membahas nama untuk virus corona jenis baru itu sekitar dua pekan lalu dan butuh dua hari untuk menyelesaikannya, menurut Neuman, yang juga berlaku sebagai Kepala Ilmu Biologi di Texas A&M University-Texarkana di AS.
Mereka mengajukan nama itu ke jurnal ilmiah untuk diterbitkan dan berharap akan mengumumkannya dalam beberapa hari mendatang.
Selain membantu masyarakat memahami virus, ICTV berharap penamaan ini akan memungkinkan para peneliti untuk fokus melawannya dengan menghemat waktu dan mengatasi kebingungan.
"Kita akan mencari tahu di masa depan apakah kita sudah melakukan sesuatu yang benar," lanjut Neuman.