Bisnis.com, JAKARTA – Sekitar 3 bulan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hampir di semua kawasan Indonesia membuat dampak keterpurukan yang besar bagi bisnis kuliner membuat tergerusnya profit hingga 90%.
Meski kini akan memasuki masa new normal yakni ajakan untuk berdamai dengan Covid-19, bisnis kuliner pun masih dibayangi ketakutan. Pasalnya pelaku usaha sektor ini memprediksi usaha mereka belum bisa optimal dalam mengeruk cuan. Hal ini diamini oleh banyak pekerja yang meracik langsung sajian masakan, yakni para chef.
Ketua Umum Perkumpulan Chef Profesional Bambang Nurianto mengatakan tamparan keras bagi sektor pariwisata dan hospitality selama pandemi ini jelas telah membuat daya beli berkurang. Tak heran jika selama masa Ramadan lalu yang biasanya jadi andalan mengeruk profit yang terjadi tahun ini sebaliknya.
“Tergerusnya ini bisa sampai 90% dari penghasilan total biasa ya. Meski secara nominal kami belum cek berapa, tapi 90% itu untuk yang setara korporasi, untuk industri [kuliner] rumahan maish bisa bertahan hidup meski sangat minimalis,” kata Bambang saat dihubungi Bisnis, Selasa (2/6/2020).
Tak hanya dari sisi pendapatan, Bambang yang akrab dikenal Chef Bamz ini juga mengakui terkendalanya inovasi menu selama pandemi Covid-19. Dia membeberkan, kreasi menu baru terhambat karena kurangnya intensitas langsung dengan tamu restoran maupun dengan tim chef di dapur.
“Ini sangat berpengaruh pada kreasi. Kalau pun ada yang tetap bisa berkreasi itu pasti memang punya jiwa yang tangguh dan punya cara yang unik dalam menciptakan kreasi,” pungkasnya.
Chef Ragil Imam Wibowo pemilik restoran NUSA Gastronomy mengaku, pandemi ini membeli efek yang luar biasa bagi bisnis kuliner. Penutupan kedai beberapa saat sampai pengurangan karyawan tak terhindarkan akibat tergerusnya pendapatan.
Dia pun menambahkan, bisnis restoran dan kafe meski bisa tetap beroperasi secara daring, tetap tidak bisa menyamakan dengan pendapatan saat non daring yang jauh lebih berkelimpahan.
“Saya dari 9 outlet Cuma buka 1 outlet. Jadi mungkin tergerusnya 90%, kalau yang bisnis kuliner secara daring lebih sustain ketimbang kami karena mungkin mereka juga pemain lama yang selama ini sudah beroperasi secara online,” ujar Ragil kepada Bisnis.
INOVASI PANIK.
Terkait inovasi, Chef Ragil punya pendapat yang berbeda dari Chef Bamz. Dia menyebut, selama pandemi Covid-19 ini meski daya beli menurun namun pola konsumsi termasuk konsumsi makanan mengalami perubahan. Imbasnya, permintaan alias demand baru pun muncul sebagai peluang yang bisa diambil para profesional bidang kuliner.
“Demand yang selama WFH [work from home] ini belum sustain, berubah cepat, inovasinya jadi seperti panik,” kata Chef Ragil.
Dia pun memerinci, pada pekan pertama PSBB, mayoritas orang memburu makanan paket lengkap ketimbang masak sendiri. Pada pekan kedua, demand pun berubah sehingga inovasi yang dibuat para chef justru tertinggal. Mau tak mau, para chef harus bisa bekerja ekstra cepat melihat pola-pola konsumsi di masyarakat.
“Inovasi panik ini memang dalam arti kondisi apapun yang bisa kita jual itu memberi pendapatan, namun saat ini karena permintaan jenis makanan terus berubah saya menilai ini masih dalam proses mencari titik keseimbangan,” paparnya.
Oleh sebab itu, saat ini dia menilai tren makanan masih akan terus berubah. Para chef harus cepat tanggap dan lebih peka terhadap perubahan-perubahan demand yang bisa dilihat dari media sosial saat ini.