Ilustrasi pelecehan seksual./Istimewa
Health

Ini Penyebab Fetish dan Cara Menanggulanginya

Gloria Fransisca Katharina Lawi
Rabu, 5 Agustus 2020 - 13:13
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Gejala fetish membuat banyak masyarakat masih kebingungan tentang mekanisme dari fetish dan dampaknya bagi keamanan masyarakat sekitar.

Menurut dr. Alvina, Sp.KJ, Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa di Primaya Hospital Bekasi Barat, fetish adalah objek yang tidak hidup. Sedangkan, fetishism adalah fantasi, dorongan, atau perilaku seksual yang menggunakan objek tidak hidup sebagai metode untuk membuat seseorang terangsang secara seksual.

“Seseorang dengan fetishism akan berfantasi seksual atau melakukan perilaku seksual misalnya masturbasi dengan menggunakan benda yang tidak hidup sebagai objek untuk menimbulkan rangsangan seksual,” ujar dr. Alvina, melalui siaran pers, Rabu (5/8/2020).

Kemudian, apakah seseorang dengan fetishism termasuk dalam kategori mengalami gangguan jiwa? Alvina menjelaskan, fetishism sendiri belum tentu gangguan sepanjang tidak menimbulkan distres dan tidak menimbulkan gangguan fungsi.

Untuk memenuhi kriteria gangguan jiwa, seseorang dengan fetishism harus mengalami distres yang bermakna dan gangguan fungsi seperti merasa terganggu atau menderita dengan kondisinya.

“Saat menjadi gangguan, diagnosisnya menjadi gangguan fetihistik,” sambungnya.

Untuk memenuhi kriteria diagnosis gangguan fetihistik; seseorang harus memiliki fantasi, dorongan, atau perilaku seksual yang intens dan berulang yang melibatkan objek tidak hidup atau bagian dari tubuh manusia non-genital. Fantasi, dorongan, atau perilaku ini berlangsung sekurangnya 6 bulan dan menyebabkan distres atau gangguan fungsi sosial, pekerjaan, dan personal.

Dia memerinci, saat fetishism sudah menimbulkan distres dan gangguan fungsi, tentu gangguan fetihistik bisa menimbulkan dampak buruk. Pasalnya, bagi seseorang dengan detishism misalnya orang tersebut jadi menarik diri dari lingkungan sosialnya karena gangguan fungsi sosial atau tidak bisa bekerja karena gangguan Fetihistik tersebut.

Bahaya akan timbul bagi masyarakat sekitar bila terjadi tindakan yang melanggar hak-hak orang lain dalam rangka mencari objek fetish seperti seseorang mencuri pakaian dalam dan menimbulkan rasa tidak aman bagi lingkungan.

Selain itu, bahaya juga dampak timbul seperti saat anak terpapar dengan penyimpangan seksual yang berpotensi menimbulkan perilaku imitasi sehingga anak lainnya kelak juga mengalami penyimpangan seksual.

Alvina juga menambahkan bahwa dari kriteria diagnosisnya, objek tidak hidup seseorang dengan fethishism tidak termasuk bagian pakaian yang digunakan untuk cross dressing dan bukan alat yang memang di desain untuk memberikan stimulasi genital seperti vibrator.

Fetishism bisa disertai dengan gangguan mental lainnya misalnya orang tersebut juga memiliki gangguan mood seperti gangguan depresi, gangguan cemas, atau gangguan psikotik.

“Jika ditanya apakah seorang dengan fetishism sendiri mengancam keselamatan atau kejiwaan orang lain, maka kita harus kembali lagi bahwa gangguan fetihistik sendiri melibatkan objek yang tidak hidup dan biasanya ada rasa inadekuat maka konfrontasi secara langsung jarang dilakukan,” tuturnya.

Fetishism mungkin bisa terjadi saat anak menjadi korban atau anak melihat perilaku seksual yang menyimpang. Ada teori lain yang mengatakan bahwa seseorang mungkin mengalami kurangnya kontak seksual sehingga mencari pemuasan dengan cara yang lain.

Terdapat pula teori lainnya yang mengatakan bahwa terjadi keraguan tentang maskulinitas pada laki-laki yang mengalami fetishism atau ada rasa takut adanya penolakan yang terjadi. Alhasil dia menggunakan objek yang tidak hidup untuk memberinya kepuasan seksual.

Secara umum, kata Alvina penyimpangan seksual lebih banyak dialami laki-laki daripada perempuan. Selain itu terdapat teori yang mengatakan bahwa fetishism berkembang sejak masa kanak-kanak, namun ada pula yang mengatakan onset-nya adalah saat masa pubertas.

Untuk melakukan penyembuhan, gangguan fetihistik bisa diterapi dengan berbagai modalitas psikoterapi baik individual maupun kelompok serta dapat dilakukan pemberian terapi obat-obatan dan hormon.

Alvina pun menegaskan, untuk menghindari gangguan fetihistik, masyarakat harus menciptakan lingkungan yang ramah anak, peduli pada kesehatan anak baik secara fisik maupun mental, dan bersikap melindungi anak dari paparan kekerasan baik kekerasan fisik, mental, maupun seksual.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro