Ilustrasi/Dailymail
Relationship

Apakah Perlu Punya Pasangan Agar Hidup Bahagia?

Krizia Putri Kinanti
Rabu, 5 Agustus 2020 - 12:45
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA -- Baik pria maupun wanita sering khawatir tidak menemukan kebahagiaan jika mereka tidak memiliki pasangan.

Mereka pada akhirnya berusaha menemukan orang yang "tepat" yang dinilai bisa membawa sukacita bagi kehidupan mereka, juga sangat merindukan kehadiran orang lain. Mereka takut "berakhir sendirian."

Tapi benarkah punya pasangan bikin kehidupan bahagia? Studi baru mengungkapkan beberapa informasi tentang itu.

Hasilnya, menunjukkan bahwa kehidupan "bahagia" digambarkan sebagai salah satu dari kesejahteraan mental dan fisik; rasa berkembang dari waktu ke waktu; dan perasaan bahwa hidup itu layak, terlepas dari naik turunnya kehidupan dan transisi dan perubahan yang tak terhindarkan yang kita alami.

Dikutip dari Psychology Today, beberapa penelitian terbaru tentang hubungan dan kebahagiaan dari Michigan State University menilai tingkat kebahagiaan lebih dari 7.000 dengan kategori orang mereka yang menikah, yang bercerai, dan mereka yang masih lajang dari usia 18 hingga 60 tahun.

Sekitar 80 persen peserta telah menikah secara konsisten, dalam satu pernikahan; 13 persen telah keluar masuk hubungan; dan 8 persen secara konsisten masih lajang. Para peneliti memeriksa bagaimana peringkat kebahagiaan partisipan terkait dengan kelompok tertentu yang mereka ikuti.

"Hasil dari penelitian ini adalah bahwa mempertaruhkan kebahagiaan Anda untuk menikah bukanlah hal yang pasti," seperti yang dilaporkan rekan penulis William Chopik.

Artinya, para lajang seumur hidup dan mereka yang memiliki sejarah hubungan yang beragam tidak berbeda tingkat kebahagiaannya dengan  mereka yang menikah.

Selain itu, individu yang sudah menikah seumur hidup hanya menunjukkan tingkat kebahagiaan yang sedikit lebih tinggi. Penelitian ini diterbitkan dalam Journal of Positive Psychology.

Data empiris mengonfirmasi hal yang sudah jelas: Kebahagiaan seumur hidup rasa kesejahteraan dan kepuasan, lebih berakar dalam kehidupan Anda secara keseluruhan, bukan hanya apakah Anda berada dalam suatu hubungan atau tidak. Dan bahkan bagi mereka yang memiliki hubungan "satu perkawinan" jangka panjang.

Kita selalu menemukan pasangan yang tetap menikah meskipun hilangnya perasaan atau justru saling benci satu sama lain.

Orang lajang mendapatkan kesenangan dari segala macam bagian lain dari kehidupan mereka. Jika tujuan menikah adalah untuk menemukan kebahagiaan, tampaknya agak konyol

Jika Anda tidak menjalani kehidupan yang menghasilkan kebahagiaan dan kepuasan untuk memulai, maka berada dalam hubungan itu sendiri tidak akan mengubah itu. Bahkan bisa memperburuk keadaan.

Jadi apa yang mendukung kesejahteraan secara keseluruhan, melalui kehidupan? Jawabannya kompleks, dan melibatkan beberapa dimensi, termasuk bagaimana Anda berpikir, merasakan dan berperilaku, dan konteks sosial tempat Anda hidup juga. Yang terakhir mungkin mengharuskan Anda untuk meyakini definisi "kebahagiaan" tertentu yang dapat merusak kesehatan dan kesejahteraan Anda.

Tetapi beberapa dimensi yang berhubungan dengan bagaimana Anda menjalani hidup Anda menonjol. Salah satu contoh adalah menumbuhkan emosi positif seperti kasih sayang dan kemurahan hati. Yang lain adalah melayani sesuatu yang lebih besar dari sekadar "kebutuhan" dan ego Anda sendiri. Semua terkait dengan peningkatan kesejahteraan. Secara lebih luas, semua itu mencerminkan hubungan antara kebahagiaan dan kehidupan yang sehat - baik secara mental maupun fisik.

Bukti terbaru dari hubungan itu adalah sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa jika Anda mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kebahagiaan Anda, mereka dapat berdampak pada kesehatan fisik Anda.

Penelitian ini dilakukan dengan 155 orang dewasa antara usia 25 dan 75 tahun. Penelitian ini berfokus pada peningkatan tiga sumber kebahagiaan yang berbeda. Selama 12 minggu, para peserta melaporkan peningkatan tingkat kebahagiaan. Bahkan orang dewasa yang umumnya sebahagiahat dapat memiliki manfaat bagi kesehatan fisik mereka, demikian menurut peneliti Kostadin Kushlev.

Studi ini dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Georgetown, Universitas Virginia, dan Universitas British Columbia, dijelaskan secara lebih rinci di sini dan diterbitkan dalam Ilmu Psikologi.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro