Bisnis.com, JAKARTA - Pandemi virus corona yang terjadi saat ini tidak beda jauh dengan pandemi human immunodeficiency virus (HIV) pada 1981.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono menyatakan persamaan pertama, pandemi Covid-19 dan HIV memegang prinsip gunung es. Hal ini lantaran data orang yang terdeteksi terinfeksi virus hanya sebagian kecil atau di permukaan saja.
"Saya perkirakan kemarin Covid antara 5 sampai 10 kali dari kasus yang ada, kemungkinan sudah 1 juta orang dengan Covid di Indonesia," ujarnya dalam diskusi via daring, Senin (24/8/2020).
Persamaan kedua, cara mengatasi Covid-19 dan HIV yakni dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Jika tidak diantisipasi, masalah pandemi Covid suatu ketika akan meledak hingga sulit ditangani layanan kesehatan seperti rumah sakit.
Ketiga, virus corona dan HIV merupakan RNA yang dapat mereplikasi diri atau gampang bermutasi. Pandu menjelaskan HIV dalam satu generasi sudah bermutasi karena dia selalu terjadi salah copy. HIV masuk ke dalam sel, HIV RNA masuk ke dalam tubuh, menumpang sel inang, bereplikasi, dan kemudian terjadi salah copy.
Kata Pandu, salah copy itu menjadi kunci survival virus karena sistem pertahanan tubuh tidak mengenali sistem virus yang baru. Akhirnya HIV merusak sistem imun karena terlambat untuk mengenalinya. "Keterlambatan respon sistem imun menyebabkan betapa susahnya hadapi HIV termasuk bagaimana membuat vaksin," imbuhnya.
Keempat, HIV dan Covid-19 berawal dari lokal transmission yang berkembang menjadi community transmission. Sehingga sulit mengenali si pembawa virus dan hanya bisa diketahui melalui tes.
"Tapi bedanya pada Covid itu dalam dua minggu itu akan hilang. Sifatnya jadi berbeda antara Covid dan HIV. HIV kita bisa deteksi dengan antibodi ya walaupun ada window period," jelasnya.
Kelima, hingga kini belum ditemukan vaksin Covid-19 maupun HIV. Sejak dulu begitu banyak penelitian mengenai HIV namun yang ditemukan hanyalah obat yang pastinya memiliki efek samping.
Keenam, penderita Covid-19 maupun HIV banyak yang menyembunyikan diri atau malu mengungkapkan mereka telah terinfeksi.
Ketujuh, munculnya stigma tentang konspirasi akan virus tersebut. "Masalah pandemi itu selalu dibalut terkontaminasi dengan infodemi, itu barang lebih berbahaya," tegas Pandu.
Kedelapan, banyak orang yang mengklaim menemukan obat yang bisa menyembuhkan HIV ataupun Covid-19 pada saat ini tanpa didasari penelitian. "Pengobatan ini dianggap bisa menyembuhkan tapi apakah mengikuti prosedur sains? Ini yang menjadi masalah. Ini jadi human tragedi," sebutnya.
Kesembilan, penularan melalui cluster. Untuk Covid-19 saat ini terus terbentuk cluster baru. "Sekarang penularan melalui cluster, kalau ada orang membawa virus ke rumah terjadilah cluster rumah tangga, makanya itu saya menentang betul adanya isolasi dalam rumah, problemnya sama," beber Pandu.
Kesepuluh atau yang terakhir yakni penyangkalan. Stigma dan diskriminasi merebak selama pandemi. Misalnya saja kala HIV imbauan untuk memakai kondom mendapat stigma negatif dari masyarakat. Padahal menurut Pandu, kondom adalah alat proteksi untuk mencegah penularan HIV namun masyarakat protes kampanye penggunaan kondom mendukung adanya seks bebas.
Baik Covid-19 maupun HIV katanya ditularkan melalui cairan. "Maka kondom itu proteksi yang luar biasa efektif, itu menjadi penting. Dulu saya promosi kondom sekarang saya promosi masker," tukas Pandu.