Ilustrasi bunuh diri/Istimewa
Health

Angka Kematian Bunuh Diri Meningkat di Dunia

Gloria Fransisca Katharina Lawi
Selasa, 22 September 2020 - 14:29
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA -- Bunuh diri masih menjadi persoalan sosial di seluruh dunia karena menyumbang angka kematian yang cukup besar.

Bunuh diri kerap diasosiasikan dengan kondisi genetik, psikologis, sosial, kultural, serta beragam faktor lain yang bertautan dengan pengalaman trauma dan kehilangan.

Alhasil, dalam suasana yang terdesak, hidup yang terasa begitu sulit, masalah yang terasa tidak ada jalan keluar, perasaan terkucilkan dan ketidakadilan, sampai kekosongan sistem pendukung atau ‘teman curhat’ bisa menjadi beberapa contoh timbulnya motivasi seseorang untuk menyudahi kehidupan dengan bunuh diri. 

Terbukti menurut data International Association for Suicide Prevention (IASP), Selasa (22/9/2020), bunuh diri masih masuk dalam 20 besar penyebab kematian di dunia dari berbagai usia.

Ada sekitar 800.000 kematian yang terjadi dalam setiap 40 detik di seluruh dunia. Padahal setiap kehidupan yang hilang akibat bunuh diri bisa jadi adalah pasangan hidup, anak, orangtua, sahabat, dan kolega yang ada di sekitar kita. Setiap kematian akibat bunuh diri tersebut pun berimbas pada kedukaan yang menimpa paling sedikit 135 orang di sekitarnya. 

Presiden IASP Murad Khan pun menegaskan, 10 September sebagai Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia ini bisa menjadi kesempatan bagi siapapun untuk melakukan upaya preventif. Apalagi menurut Murad, angka kematian akibat bunuh diri sangat berpotensi meningkat selama pandemi Covid-19 yang mana suasana isolasi akan memicu kecemasan dan membuat kesehatan mental menjadi lebih rentan.

Dia menganjurkan ada beberapa langkah kolektif dan preventif yang bisa diambil. Misalnya; menjadi support system bagi keluarga dan orang-orang di sekitar Anda, dan tidak pernah berhenti untuk memberi edukasi pentingnya menjaga kesehatan mental, serta mengurangi stigma buruk pada tindakan bunuh diri.

Sejumlah upaya ini bisa terwujud tidak hanya melalui pendekatan secara langsung, namun juga bisa lebih efektif dan menjangkau lebih luas melalui media sosial.

Adapun kasus-kasus gangguan kesehatan mental hingga bunuh diri juga rentan terjadi di Indonesia.

Menurut Nur Yana Yirah, pendiri Komunitas MotherHope Indonesia perempuan dan ibu menyusui termasuk golongan yang rentan mengalami gangguan kesehatan mental pasca melahirkan akibat sindrom baby blues. 

“Sindrom Baby Blues ini efeknya bisa sangat panjang, tidak hanya berpengaruh ke ibu tapi juga bisa sampai ke pertumbuhan anak," kata Yana.

Berkaca dari pengalaman hidup menjadi penyintas baby blues syndrome, Yana pun mulai mengampanyekan kesehatan mental melalui media sosial yakni Facebook. 

Dia mengajak para ibu pasca melahirkan untuk saling mendukung dan mencegah gangguan mood. "Ibu yang mengalami sindrom ini pun jadi kesulitan sekali untuk bisa merawat anak dengan baik,” ungkap Yana.

Grup tersebut juga sangat dinamis dan saling berbagi perihal cara meningkatkan kekuatan mental keluarga, mengatasi konflik antar keluarga, dan cara menghadapi depresi juga kecemasan.

Komunitas ini pun memberi edukasi cara menjaga kesehatan jiwa melalui makanan yang sehat, olahraga  dan meditasi, hingga konsultasi ke psikiater atau psikolog. 

Asal tahu saja, pada tanggal 10 September lalu World Health Organization (WHO) dan International Association for Suicide Prevention (IASP) memperingati Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia atau World Suicide Prevention Day. Peringatan tersebut diharapkan bisa menjadi pemicu semangat positif mencegah bunuh diri di dunia.

Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro