Bisnis.com, JAKARTA - Aktivitas promosi melalui media sosial bisa dimanfaatkan untuk menaikkan popularitas batik asal Indonesia.
Berasal dari kata ‘amba’ yang bermakna kain, dan ‘tik’ yang bermakna titik, maka batik adalah kain dengan titik demi titik yang membentuk motif dari cerita kolektif masyarakat.
Seperti dikutip dari laman resmi Indonesia Baik, kain batik yang dilukis sudah ada sejak masa kerajaan Majapahit, tepatnya pada abad ke-17. Pembuatan awal hanya menggunakan kain putih hasil tenunan tangan yang kemudian dilukis dengan pola tertentu.
Hasil lukisan itu menjadi pakaian kaum nigrat alias golongan priyayi. Tak heran jika tradisi ini pun menyebar ke beberapa kerajaan lain yakni Kerajaan Mataram Lama, Kerajaan Demak, dan kerajaan-kerajaan lain setelahnya. Batik telah menjelma simbol kebudayaan dan identitas komunitas masyarakat setempat.
Sejak 2009, batik telah menyabet posisi masuk dalam Warisan Budaya Bukan Benda oleh UNESCO. Jauh sebelumnya, batik pun seringkali dipakai oleh pejabat-pejabat Indonesia dalam pertemuan internasional. Tujuannya, untuk mempromosikan hasil seni dan budaya nusantara. Meski demikian, prospek batik menjadi ikon fashion dunia ternyata melalui jalan yang cukup terjal.
Perancang Busana Samuel Wattimena mengatakan kekuatan untuk bisa membawa batik mendunia harus diawali dari penguatan karakternya dulu.
"Sebab setiap daerah punya masa lalu yang berbeda, sehingga ciri motif dan karakter batik tiap daerah menjadi sangat berbeda,” kata Samuel kepada Bisnis beberapa waktu yang lalu.
Samuel memaparkan, batik saat ini melalui sebuah fase baru yakni masa dunia digital yang membuat banjir informasi. Imbasnya, motif dari batik pun sudah menyebar antara satu daerah dengan daerah lain. Para pembatik kini bisa saling tahu motif batik setiap daerah.
Kondisi ini juga disebabkan, tingginya kecenderungan para pembatik hingga konsumen batik untuk ikut memamerkan batik mereka melalui media sosial.
“Kini semua saling tahu, pembatik A bisa tahu pembatik B di daerah lain membuat apa, dan mereka pun merasa sudah bisa membuatnya sendiri. Inilah global information,” ungkapnya.
Lebih lanjut dia menilai masa banjir informasi global ini seharusnya tidak menurunkan performa batik Indonesia di mata dunia. Sebaliknya, ini adalah peluang untuk memperkaya motif dan produk batik dalam negeri. Apalagi, dengan informasi global ini para perancang busana pun bisa lebih mudah untuk saling membagikan karya mereka dan menjadi inspirasi bagi satu dengan yang lainnya.
“Saya dulu mungkin tak tahu, perancang busana di AS, London, Singapura, membuat apa. Sekarang saya tahu dengan lebih cepat. Artinya semua informasi itu harus jadi inspirasi yang memperkaya kita,” sambung Samuel.
Sayangnya, dalam menyikapi aliran informasi global ini masih banyak sejumlah pelaku batik maupun pengusaha batik yang masih melakukan tebang pilih. Beberapa pun masih ada yang menilai media sosial akan menenggelamkan batik Indonesia karena semakin banyaknya perancang busana atau pembuat batik lain di luar Indonesia.
“Jadi bukan soal kita melihat batik akan jadi banyak yang plagiat. Namanya inspirasi tidak masalah kalau dicontoh. Hanya dengan cara-cara seperti ini kebudayaan bisa berkembang,” pungkasnya.