Bisnis.com, JAKARTA - 'Ting' bunyi handphone dari Irin, ibu dua anak ini nyaring terdengar pada pagi hari. Ternyata, Irin dan sesama ibu-ibu lainnya di whatsapp grup sedang berbagi informasi tentang virus corona.
Isi chatnya adalah adalah pernyataan Aliansi Dokter Dunia bahwa Covid-19 tidak lebih ganas dari flu biasa dan sesungguhnya tidak ada pandemi beredar di media sosial. Aliansi yang terdiri dari dokter, ilmuwan, dan aktivis perdamaian asal Eropa itu juga menilai tes PCR (polymerase chain reaction) menghasilkan positif palsu.
Karena situasi pandemi saat ini hanyalah rekayasa, mereka menyerukan orang-orang agar tidak perlu melakukan pembatasan sosial, memakai masker, hingga melakukan karantina. Padahal virus ini pada kenyataannya sangatlah berbahaya dan sudah memakan ratusan juta jiwa di seluruh dunia.
Adalagi pesan hoax berantai yang mengutip perkataan musisi dan aktivis asal Bali, I Gede Ari Astina atau akrab disapa Jerinx, beberapa waktu yang lalu yang menyebutkan bahwa virus corona merupakan sebuah konspirasi.
“Coba gabungkan titik-titik tersebut. Hasilnya kamu akan tiba di kesimpulan: CV19 adalah tentang bisnis, BUKAN tentang kesehatan, apalagi kemanusiaan. Pilihan ada di kita, mau niru cara seleb/musisi centang biru yang bermain aman, atau bersatu bersama orang-orang biasa yang tak bisa hidup dari makan tagar?," di dalam pesan itu.
Padahal saat ini, virus corona sudah menginfeksi lebih dari 9 juta orang di dunia, begitupun dengan jumlah kematian yang setiap harinya terus meningkat di beberapa negara.
Adalagi, Flat earthers alias kaum Bumi datar kembali menjadi sorotan. Bukan tanpa alasan, tetapi karena mengunggah postingan atau video-video yang berkaitan dengan Covid-19 yang sedang melanda di Indonesia.
Tidak tanggung-tanggung, dalam salah satu akun youtube @FE101Channel, mereka mengatakan bahwa statistik virus corona (Covid-19) di Indonesia adalah tipu daya semata. Selain itu, beredar video hasil rontgen paru-paru dari sekelompok orang yang mengatasnamakan dirinya FE (flat earthers) yang mengatakan bahwa hasil thorax yang beredar bukanlah penyakit Covid-19, tetapi ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan).
Dalam chatnya, pesan ini entah sudah dibagikan ke berapa grup dan dibaca berapa orang. Tentu hal ini menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran bagi Irin, “Tentu saya sangat khawatir, soalnya kan penyakit ini masih ada sampai sekarang, kita nggak tahu pengobatannya gimana tapi sudah dapat informasi macam-macam seperti ini jadi takut,” katanya kepada Bisnis, Kamis (12/11/2020).
Baca Juga 5 Zodiak yang Merupakan Orang Kreatif |
---|
Dokter spesialis penyakit dalam serta pendiri Junior Doctors Network (JDN), Andi Khomeini Takdir, mengatakan bahwa sebetulnya yang harus diwaspadai itu sebenarnya akun-akun penyebar teori konspirasi itu.
“Penyebar teori konspirasi enggak paham ilmu medisnya, tentu dia tidak melihat pasiennya juga, apa betul omongan mereka harus dipercaya? Okelah kamu jago di bidang lain, tapi untuk urusan ini [masalah kesehatan] tolong tahan diri, karena tenaga kesehatan aja perlu mengevaluasi banyak hal terkait Covid-19, setiap hari,” ujarnya kepada Bisnis.
Dia menyimpulkan, bentuk komunikasi ke masyarakat harus diperbaiki karena disinformasi sudah sangat meluas. Menurutnya, masyarakat bisa mengedukasi diri sendiri dengan mematuhi protokol kesehatan dan membaca informasi dari sumber terpercaya. Dia menyarankan agar masyarakat bisa hati-hati, teliti, tidak grusa-grusu dan tidak panik.
Tidak hanya di Indonesia, beberapa ilmuwan di Inggris. Lembaga Royal Society dan British Academy telah bersama-sama menyerukan agar undang-undang disusun tentang penyebaran klaim palsu tentang vaksinasi di internet.
Dikutip dari dailymail.co.uk, para ahli khawatir kebohongan tentang penyebaran vaksin secara online akan membuat orang tidak lagi ingin divaksin, dan survei menemukan bahwa lebih dari sepertiga orang Inggris sudah mengatakan mereka tidak mungkin ingin suntikan.
Vaksin dipandang sebagai satu-satunya cara untuk mengakhiri pandemi Covid-19, tetapi serapan tinggi, idealnya 80 persen dari populasi atau lebih diperlukan agar dapat berfungsi. Klaim liar dan tidak benar yang dibuat tentang vaksin online termasuk bahwa mereka telah dibuat oleh pendiri Microsoft Bill Gates untuk menyuntikkan microchip ke manusia, dan bahwa virus corona bahkan tidak nyata tetapi telah dibuat sebagai bagian dari 'plot untuk menegakkan vaksinasi'.
GCHQ di Inggris telah memulai kampanye untuk mengatasi teori yang disebarkan di media sosial oleh pihak yang ikut campur di Rusia, dan Royal Society dan British Academy mengatakan kebanyakan orang yang tertarik dengan teori anti-vax tidak menyadari bahwa mereka menyebarkan kebohongan.
Profesor Melinda Mills, seorang sosiolog Universitas Oxford yang menerbitkan laporan tadi malam tentang peluncuran dosis vaksin ketika mereka tiba, mengatakan kepada bahwa informasi anti vaksin ini bisa sangat merusak, dan cara cerdas mereka menyebarkannya melalui meme dan hal-hal yang mudah diingat.
“Kelompok-kelompok ini sangat terampil. Mereka menggunakan rasa takut, menyisipkan sedikit fakta, dan memberikan bumbu. 'Ini tidak terlalu menarik ketika Pemerintah membuat halaman web pasif yang mengatakan vaksinasi aman. 'Anti-vaxxers mengubah segalanya menjadi pertunjukan mereka mengeluarkan hal-hal yang menarik, secara visual bagi anggotanya, tuturnya.
Saluran media sosial mencoba menyaring informasi yang salah ini, tetapi mereka tidak bisa mendapatkan semuanya, jadi penting bagi publik untuk dapat mengetahuinya sehingga mereka tidak membagikannya. Kebanyakan orang tidak buruk, mereka hanya tidak menyadari bahwa mereka berbagi banyak informasi yang salah.
Laporan oleh Profesor Mills dan rekannya mengatakan vaksin tidak akan segera mengakhiri pandemi dan para ilmuwan serta pejabat harus jujur tentang berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk meluncurkannya dan membuat kehidupan kembali normal.
Delapan dari 10 orang mungkin perlu menjalani suntikan sebelum efektif dan menyelesaikannya akan menjadi tugas yang berat bagi petugas medis. Laporan tersebut telah menyerukan skala waktu yang realistis untuk ditetapkan kepada publik tentang berapa lama sebenarnya waktu yang dibutuhkan untuk memvaksin cukup banyak orang untuk menggagalkan penyebaran Covid-19.
Dan bahkan jika pengambilannya bagus, PSBB dan social distancing masih harus terus mengendalikan virus sementara petugas medis berjuang untuk memberikan vaksin kepada jutaan orang.
Ada juga kemungkinan suntikan tidak akan bekerja dengan sempurna - para ahli telah memperingatkan bahwa vaksin pertama mungkin tidak sepenuhnya efektif, yang berarti tindakan lain mungkin masih diperlukan.
Daripada menyalahkan anti-vaxxers, Profesor Mills mengatakan para pejabat harus mengatasi kekhawatiran mereka secara langsung dan membantu mereka untuk memahami kebenaran tentang vaksin.
Bahkan jika vaksin akhirnya tidak dapat menghentikan infeksi Covid-19 sepenuhnya, itu dapat mengurangi tingkat keparahan penyakit dan memangkas jumlah kematian, menekan virus menjadi sesuatu yang lebih mirip flu daripada penyakit mematikan seperti sekarang.